Tanjung Bira

Tanjung Bira, Kab. Bulukumba, Prov. Sulawesi-Selatan, Indonesia.

Sanggar Seni Panrita

STIKES Panrita Husada Bulukumba

Sekolah Sastra Bulukumba

Sekolahnya Penulis Bulukumba

Lopi Phinisi

Melanglang buana menerjang ombak mengarungi samudera

Suku Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan

Hidup Selaras dengan Alam sebagai Kosmologi Suku Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan

Thursday, December 31, 2015

Selamat tahun baru 2016 M

Menanti tahun baru 2016
Semoga kita semua diberikan rahmat dan hidayah oleh Tuhan yang maha esa untuk tetap menikmati hangatnya mentari pagi, Indahnya senja di bibir pantai, Menikmati kilau Pamor polobessi, melihatmu tersenyum, dan yang paling penting seluruh orang-orang disekitar kita tetap sehat selalu.

Bulukumba
19 Rabi-al Awaal 1437 H.

Topada salamaki.

Sunday, December 27, 2015

Dompea

"Dasar bodoh, Kamu tidak perlu lagi keluar masuk hutan, kelaparan, Menenteng bedil dan puluhan amunisi yang berat. sekarang itu jamannya jadi pejabat, korupsi banyak-banyak, beli surat kabar, Stasiun Televisi, dan Radio".

Entah apa yang ada didalam pikirannya. Dulu, Lelaki tua itu adalah mantan gerombolan paling dicari. Sambil tersenyum, Ia menghisap dalam-dalam tembakau yang telah digulungnya.

(Penggalan cerita "Dompea")

Saturday, December 26, 2015

Masa Lalu

Aku memiliki banyak kesalahan dalam hidup. Sampai saat ini masih membekas, semakin hari semakin dalam. Untuk menguburnya mesti menuliskannya dan itu salah satu obat yang paling mujarab selain menatap senyummu dalam sebuah kanvas di dinding.

Negeri satu kamar

Mendengar lantunan Gloomy Sunday membuatku kembali tenggelam dalam angan-angan. Semua kembali menari, Pesta sabtu malam dan hitam secangkir kopi menambah kemeriahan. Semua berhamburan ke lantai jingkrak menggetarkan seluruh tubuhnya. Kali ini semua bergembira tak terkecuali cicak yang berpesta dengan nyamuk dan tokek dengan santapanya cicak, saling memangsah dalam keriangan, satu persatu hingga tersisa empat pasang dengan gerakan Irish Dance, botol dengan tarian salsa, cangkir menggerakkan perutnya berusaha menarikan Belly dance.

Tiba-tiba bantal dan guling meloncat dari ranjang menari mengelilingi kamar, dari sekian tarian yang pernah Ia perlihatkan, malam ini bagaikan Siwa Nata Raja menggoyangkan seluruh badannya hingga semua tercengang, tokek berteriak.

"Inilah dia Penari Kosmis, tidak sembarang ditarikan. Hanya mereka yang beruntung yang dapat menyaksikan, dan mereka yang beruntung adalah kita semua".

Guling yang terus saja menari membuat semua tercengang, Buku dengan ribuah katanya tak mampu mengedipkan mata, pulpen dan pensil hanya tercengang dengan mulut terbuka, kursi, cangkir, botol, puntung rokok, kemoceng termengung.

"Hentikan tarianmu Guling, tarian yang begitu indah tidaklah berarti apa-apa jika kami semua hanya melihat dan tidak ikut dalam kegembiraan, Ini bukan pesta namanya".

Seisi kamar memandangiku. dan semua kembali diam dan meninggalkanku dalam sunyi.

Selamat malam.

#Topada_Salamaki.

Petani kembali ketanah

BULAN DESEMBER
(Petani kembali ketanah)
*****
Menyeruput kopi dalam gelas kaca
Pahitnya menguasai lidah
Kata-kata para penguasa
Semakin hari semakin meraja

Gadis desa lupa baju kebaya
Rok mini paha berbahaya
Lelaki siapa yang tidak gila akan bahaya
Buah bergantungan didada
Lebih murah dari kain kebaya

Petani hanya tahu mengangkat cangkul dan membusung dada
Menatap matahari sambil tertawa
Menangis tiada guna
Anaknya kuliah dikota
Berteriak atas nama bapaknya
Setelah sarjana pulang dari kota
Pelajaran ditahu semua
Menipu sana sini lupa kerja

Petani menanti senja
Pulang kerumah dengan senyum semringah
Besok kerja, Besok kerja
Besok kembali ketanah

Bulukumba, 23 Desember

Friday, December 11, 2015

Wine

Melihat segepok uang di atas meja membuatnya menangis, selama hidupnya Ia sama sekali tidak pernah bermimpi akan memiliki uang sebanyak itu. Begitulah kata Antonio saat lehernya bertemu dengan tali gantungan yang akan menjempun Ruhnya bertemu leluhurnya.

Dimalam yang basah saat warga seluruh kota melepas rindu pada malam. Antonio pulang dari tempat kerjanya di Pabrik pengolahan wine. Ia bekerja hampir separuh dari hidupnya, Ia dan beberapa warga kota menggantungkan hidup dari beberapa pabrik Wine yang sudah terkenal di seluruh dunia. Antonio bekerja membuat drum tempat fermentasi buah anggur menjadi wine, bahan baku kayu untuk membuat drum hanya ada di hutan beberapa jam perjalanan kereta. di hutan itu tumbuh banyak pohon Oak yang sudah turun temurun menjadi tempat penyimpanan akstraksi anggur menjadi wine di pabrik pengolahan tempatnya kerja. Dan hari itu pemilik pabrik Henri Jayer Vosne memerintahkan Antonio membuat drum dua puluh buah karena jumlah Wine yang telah diolah lebih banyak dari sebelumnya.
Diantara ratusan ribuh botol wine yang ada di gudang penyimpanan, ada ribuah wine yang jauh lebih tua dari pada umurnya sendiri, beberapa ratus botol wine bahkan sudah ada jauh dari kakek buyut Antonie bekerja di Pabrik wine tersebut. Pemilik pabrik wine tersebut adalah Keluarga Henri Jayer Vosne  yang terkenal memiliki anggur terbaik di Kota. Pabrik Vosne, itulah nama tempat Antonio bekerja dan Vosne adalah nama keluarga yang terkenal di seluruh penikmat wine di seluruh dunia.

Perjalanan Antonio menuju Hutan tempat tumbuhnya Pohon Oak sudah dekat, biasanya dilalui beberapa jam, kini Ia harus menempuh perjalanan dua hari karena jalan berlumpur di musim penghujan. pohon-pohon yang rimbun dan besar bagai pilar langit berjejeran didepan matanya, Antonio harus memilih pohon yang baik untuk dijadikan Drum, Pohon yang tidak terlalu tua, batangnya lurus dan daunnya berguguran, namun di musim penghujan menemukan pohon Oak dengan daun yang berguguran sangatlah mustahil. separuh hidupnya membuat drum pohon Oak, Ia tidak pernah menemukan pohon Oak yang daunnya berguguran saat musim penghujan. Sore berganti malam beberapa jam lagi, dan Ia tidak menemukan pohon yang dicarinya.
Berjalan mengelilingi hutan sendirian bagi Antonio, Ia sudah berkawan dengan segala makhluk hutan. Ia terus saja berjalan masuk hutan untuk mencari bahan kayu pembuat drum dan akhirnya menemukan pohon yang batangnya lurus, dan daunya berguguran. Ia merasa heran, baru kali ini menemukan pohon yang daunnya berguguran di musim penghujan. Ayunan kapak pertama Antonio ke batang pohon menerbangkan seluruh mahkluk yang ada di hutan, dengan semangat Ia ayungkan untuk kedua kalinya terdengar jeritan perempuan di atas bukit. Antonio langsung menghentikan pekerjaannya menebang dan mencari suara jerita yang Ia dengar, berjalan dan terus berjalan Ia melihat puluhan sosok memakai jubah hitam dan salah satu diantara mereka menyayat leher perempuan yang tubuhnya tanpa sehelai pakaian. Perempuan itu memiliki rambut hitam, kulit putih mulus.
Seluruh tubuh Antonio basah, keringat dituhnya mengalir begitu deras bagai hujan dan membuat pakaian yang Ia pakai basah. Ia terus saja melihat para sosok yang memakai jubah hitam yang secara bergantian meminum wine.

"Wine yang mereka minum adalah jenis Rose Wine akan tetapi lebih merah kehitaman dan kental". Ucap Antonio dalam hati.

Gelas itu terus saja berputar dan kemudia tubuh Antonio kaku tak bergerak setelah menyaksikan wadah dari emas dan kaca Itu di dekatkan dekat leher perempuan yang telah kaku membiru.

"Bukan Wine yang mereka minum, itu darah perempuan itu". Ucap Antonio dalam hati.

Ia tidak  sama sekali percara apa yang dilihatnya, Ia terus saja menyaksikan pesta di tengah hutan, setelah beberapa lama. Semua sosok yang memakai Jubah hitam menyebar masuk kedalam hutan. Antonio mengikuti beberapa sosok itu, beberapa dari mereka membuka jubah dan Antonio tahu  siapa mereka dan kembali diam tak bergerak.

Kapak yang siap mematahkan batang pohon kini disarungkan. Antonio kembali ke Kota dan membersihkan tubuhnya, istrinya telah mempersiapkan air hangat untuk mandi, sembari berendam didalam air panas Antonio selalu saja memikirkan hal yang terjadi di dalam hutan. Ia sama sekali tidak menyangka akan menyaksikan hal seperti itu di Kotanya. Antonio terus saja memikirkan kejadian itu sampai-sampai Ia bawah dalam mimpinya. Malam itu, Ia tidak tidur sama sekali dan selalu bermimpi perempuan yang lehernya tersayat itu mendatanginya dalam mimpi dan marah kepadanya karena hanya menyaksikan perbuatan itu terjadi di depan matanya. 

"Saya tidak pernah melihat kamu dan tidak tahu siapa kamu ?. Untuk apa saya menolong kamu ?". Kata Antonio.

"Haruskah kamu kenal orang yang perlu kamu tolong ?". Kata perempuan yang mendatangi mimpinya dengan wajah membiru dan leher yang terluka.

Wajah Antonio nampak pucak dan kalut dari pembaringan, Matanya tidak sempat tertidur setelah mimpi yang mendatanginya. Ia kemudian mengambil sebotol Wine yang ada di lemari dan hanya membuangnya setelah mengingat kejadian di hutan. 

"Haruskah kamu kenal orang yang perlu kamu tolong ?". terus saja berdengung didalam otaknya, setiap melihat kaca kalimat-kalimat itu terus saja berulang. dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan kejadian yang disaksikannya kepihak kepolisian. Diatas kereta yang berjalan pelang, Antonio terus saja berpikir dan berpikir, dalam jiwanya telah tumbuh dua sosok, ada sosok yang menyuruhnya melapor dan yang satunya menganjurkan agar tidak melapor dan pada akhirnya pihak yang menganjurkan agar melapor kepihak berwenang lebih unggul. Setelah menceritakan apa yang telah disaksikannya di Hutan kepetugas kepolisian, Antonio kembali ke rumahnya.

Nasib malang yang menimpa Antonio, malam harinya setelah melapor. Pihak kepolisian datang menangkap dan menuduhnya telah membunuh perempuan dari Kota seberang puteri saudagar kaya dan merampoknya, Tali gantungan sudah melingkar di lehernya dan Ruhnya sebentar lagi akan menyapa leluhurnya membuat wine untuk para malaikat di surga. Ia hanya mampu melihat dan tidak mampu berteriak setelah lidahnya dipotong. didepan matanya Istrinya memandang dengan wajah benci dan warga kota yang datang untuk menyaksikan hukuman yang diberikan padanya, Hukuman gantung sampai mati.

Hanya satu yang bersimpati padanya, itu adalah pemilik Henri Jayer Vosne bos Leluhunya dan separuh dari hidupnya. di atas kuda Henri Jayer Vosne  turun dan naik keatas panggung.

"Andai kamu tetap diam, mungkin kamu tetap hidup dan menikmati Wine terbaik kota ini". Bisik Henri Jayer Vosne  ditelinganya.

Thursday, December 10, 2015

Melawan Lupa (The Wolf Of Wall Street)

Bagi  penikmat Film yang sama denganku, dua tahun yang lalu karya Martin Scorsese dengan judul THE WOLF OF WALL STREET sempat dicegal berbagai negara karena banyaknya adegan yang menjijikkan di dalamnya (Hope Holiday). Film yang menampilkan Leonardo Dicaprio sebagai pemeran utama ini sukses menghidupkan sosok Jordan Belfort yang sangat kontroversial.

Film ini merupakan sebuah sketsa kehidupan para Pialan di Wall Street sekaligus sketsa dunia bagi mereka yang memiliki uang berlebih. di Indonesia sendirinya tentu juga tersentu dengan film ini, Jordan Belfort hidup di kalangan elit negeri yang leluasa mengadaikan kepentingan rakyat banyak dengan intrik Uang, Kokain, dan wanita. Tentu saja dalam beberapa tahun ini, banyak kalangan elit pemerintahan yang tersandung dengan banyak kasus yang berhubungan dengan Uang, Kokain (Narkoba), dan wanita. di penghujung tahun ini saja, dua kasus besar terungkap diantaranya MKD yang menjadikan SN selaku ketua DPR RI yang melakukan tawar menawar saham dengan mencantumkan nama Presiden yang tentu saja sontak mengemparkan seantero negeri, dan tentu saja merupakan sebuah Hipotesa bahwa Pemimpin negeri juga berpotensi terlibat namun keburu terungkap atau bisa jadi SN selaku Ketua DPR RI menjadi korban kudeta terstruktur untuk sebuah maksud kelompok tertentu.


Selain itu, tentu saja Negeri ini pantas dijadikan salah satu Sketsa The Wolf of Wall Street. Coba jikalau dipikir secara Logika melalui perhitungan Matematis kita kan dapatkan banyak pejabat yang hidup dengan kemewahan jauh dengan Upah yang mereka dapatkan, ini hampir ada di sekitar kita. Bagi Rakyat sendiri, jika menyaksikan Film ini tentu saja akan memberikan banyak manfaat diantaranya mengajarkan bagaimana hidup menjadi orang sukses, bergelimpangan harta dengan bersilat lidah. Bagi para sineas negeri perlu memikirkan proyek film Film serupa, The Wolf of Indonesia.

Melawan Lupa (Warisan Maut Jenderal Koes)

Minggu lalu, Sebuah berita tentang kasus tertembaknya salah satu Anggota TNI yang bertugas di Puncak Jaya. Ini merupakan kasus yang sekian kalinya dan tentu saja menjadi topik di antara kehebohan "Papa minta saham" dan "Pilkada yang akan terjadi beberapa hari lagi.

Tentu saja di antara kita sudah banyak yang lupa akan Sembilan tahun yang lalu tentang penemuan timbunan perangkat perang di Rumah jendral bintang satu yang meninggal dunia. Penemuan ini cukup mengejutkan di kalangan Militer tentang asal muasal Senjata-senjata yang sulit di dapatkan dan berada di tempat yang tidak semestinya.

Berita ini pernah di Angkat Majalah Tempo dengan topik "Warisan Maut Jendral Koes", Brigadir Jendral Koesmayadi ini merupakan Wakil asisten logistik Angkatan Darat. di Rumahnya di temukan berbagai senjata Api dan perlengkapan perang lainnya diantaranya 96 senjata laras panjang, 42 pucuk laras pendek yang terdiri dari SS1,MP5,M16, dan AK 47 selain itu juga ditemukan 28.985 butir amunisi, sembilan granat tangan, serta 28 tropong (Tempo, 9, Juni 2006).

Penemuan ini menjadi salah satu bukti bahwasannya perlunya pengawasan publik kepada pemerintahan seperti pada kasus Papa minta saham, Pelindo II, meninggalnya Aktivis HAM Munir, Penembakan warga di Bulukumba terkait lahan karet beberapa tahun silam yang menewaskan beberapa orang dan masih banyak lainya yang sampai saat ini masih mengendap. Tentu saja, kedepannya diperlukan penyelesaian kasus secara terbuka agar kepercayaan publik kembali.


Wallahu A'lam

Khayal

Di malam yang sepi, Seorang anak merindu. Sekujur tubuhnya diterpa hujan dan tiupan angin, Bajunya basah dan tetap saja memegang selembar kain. Malam yang gelap mendekap tubuhnya hingga dari jauh hanya nampak siluet hitam, Bagai kayu mematung dan kain yang Ia pegang terus saja melambai-lambai ditiup angin.

Sesekali kain yang Ia pegang melambaii bagai dedaunan, hujan yang begitu keras terus saja turun tetapi Ia tetap saja diam mematung sambil menatap laut yang menghitam luas dan di ujungnya nampak bintang-bintang yang bersinar bertebaran bagai mutiara tak beraturan, disela-sela bintang itu nampak sosok rembulan yang lebih besar dan lebih bersinar dengan sebagian tubuhnya tertutup awan hitam, cahayanya menembus pelan awan. di atas laut nampak satu perahu nelayan yang melaju semakin dekat ke pantai.

Anak itu adalah Aku yang merindukan seseorang yang namanya semakin buram dalam ingatan akan tetapi wajahnya masih saja terpatri dalam jiwa, wajah yang selalu menemani disaat makan, bercanda, tertawa, menangis dan pergi begitu saja tanpa sebab.


Itu adalah gambaran rindu yang saat ini Aku rasakan padamu.

Aku dan Kemoceng

Sembari mengetik ini, saya berkenalan dengan teman baru. Ia adalah lulusan salah satu Universitas di Makassar. Hampir sejam kami Chat hingga lupa cerita ini, Cerita ini mengisahkan tentang anak muda dan kemoceng.

--------------------------------------------------------

Kemoceng yang tergantung di dinding kamarnya itu memiliki tiga warna, terbuat dari rotan dan bulu ayam, warnanya merah, hijau, dan kuning. Kemoceng itu sudah tergantung di dinding kamarnya cukup lama.

Kemoceng dengan bulu ayam tiga warna itu sudah berulang kali Emmanya buang, bulu ayam yang merekat sudah hampir habis dan menjadi sarang nyamuk. Pada suatu malam, Ia terbaring dengan membaca buku Isabel Alende, Potrait in sepia. sedari sore tadi saat pulang dari kuliah Ia terus membaca kisah perempuan yang mengalami trauma dan kehilangan igatannya. Sembari membaca tak sadar Ia melihat kemoceng yang tergantung pada dindingnya.

Ingatanya kembali kemasa empat tahun yang silam, masa saat Ia baru saja menginjakkan kaki di bangku kuliah. Kemoceng dengan warnah merah, hijau dan kuning itu adalah kemoceng milik seorang gadis, teman seangkatan semasa Ia di Ospek. Gadis itu memiliki tubuh yang tinggi dengan wajah yang cantik nan jelita, Hampir setiap saat selalu saja gadis itu menjadi topik pembicaraan di antara mahasiswa baru dengan kepala pelontos memakai baju hitam putih dengan segalah embel-embel di tubuhnya.

Pada hari ketiga Ospek, mereka berpapasan begitu saja di lorong gedung kuliah, Gadis itu menoleh dan tersenyum padanya. Tak di sangka, Ia menyimpang perasaan pada Gadis bertubuh tinggi dan berwajah cantik nan jelita itu. Hari terakhir, seluruh mahasiwa baru membawa alat untuk membersihkan, ada yang membawa Cangkul, Sapu lidi, Lap, dan Gadis dengan tubuh tinggi dan wajah cantik nan jelita itu membawa kemoceng. Seusai membersihkan, seluruh alat kebersihan di kumpul. Salah satu seniornya mengambil kemoceng itu dan membawahnya ke Gudang Kampus. Malam pun tiba, Pemuda itu sulit melupakan senyum yang diberikan padanya, Senyum itu ibarat Kipas angin yang selalu membuatnya sejuk. Ada ide yang muncul di benaknya, Ia memutuskan kemoceng itu sebagai kenangan akan senyum iyu, Ia langsung pergi ke kampusnya di tengah malam dan mencuri Kemoceng itu. Begitulah kemoceng itu hingga sampai saat ini terus saja Ia pajang di dinding kamarnya. Meski bulu-bulu untuk membersihkan debu sudah rontok terlepas, Ia tetap saja meyimpannya.

Buku Isabel Allende sudah Ia baca, Muncul tekanan dalam batinnya untuk mengungkapkan rasa itu. Keesokan harinya, saat di Kampus Ia memberanikan diri menemui kembali  gadis dengan tubuh tinggi nan cantik jelita itu, Namanya Kiki. Ia adalah Seorang mahasiswi Sains Matematika. Wajahnya sangat jauh dari saat pertama Ia berpapasan empat tahun yang lalu. Ia lebih cantik dan menjadi idolah di Kampus. Kiki pun datang menghampiri dan heru pergi begitu saja dengan gejolak di jiwanya akan gadis secanntik Kiki tidaklah mungkin menjadi kekasihnya.


Malam pun tiba, kembali Ia membuka Buku Viktor Malarek dengan Teh melati Ia memandang Kemoceng di dindingnya. 

Cangkir Porselin

Semusim yang lalu, kusempatkan menepati janji untuk bernostalgia di tempat kita dipertemukan. Tempat itu masih saja sama sejak tujuh tahun yang lalu, Pasir putih dengan potongan kayu masih berserakan sepanjang pantai, batu karang terjal mengelilingi dan menyembuyikan kita dari pandangan langit, bermesraan dan berbagi kisah. Aku membawa dua Cangkir  porselin milik kakekku. Cangkir itu adalah pemberian kawan lamanya dari tempat yang sangat jauh. Ia bercerita, jikalau Cangkir itu Ialah kenangan Ia dengannya sebelum mereka berpisah hingga saat ini. Air matanya jatuh bersama kenangan yang Ia ceritakan.

Aku membawa sepasang Cangkir itu dan berencana menikmati senja berdua denganmu sambil menikmati Teh dari Cangkir kenangan Kakek. Mentari yang turun berenang kelaut memancarkan sinar merah keemasan bersama angin laut mengantarkan Kita dalam kisah yang akan kuceritakan pada anak cucu kita. Aku membawa Teh aroma melati kesukaanmu dan Kue KopE langi yang adikku buat untukmu.


Tapi, semua itu hanyalah Angan-angan kita tujuh tahun yang lalu, Kini aku bersama bayanganku dan tetap membawa kedua cangkir porselin itu mengenang Kisah kita, di Pantai ini, pasir putih dengan karang terjalnya yang menusuk sepiku.

Bulan Desember IX

Secangkir kopi yang engkau hidangkan padaku sore itu lantas membuatku memilih Engkau menjadi pendamping hidupku. Banyak gadis yang lebih dulu dekat padaku bertanya.

"Kenapa engkau memilih Dia dibandingkan Aku ?. Aku lebih dekat padamu, membuatmu tertawa, memberimu segalanya".

Lantas aku jawab, Aku memilih Dia karena saat menuangkan Kopi itu tepat di depanku, Mataku tak sengaja bertemu dengan matanya dan Ia tersenyum. Jiwaku lenyap begitu saja, Serasa hilang dibawahnya bersama senyumnya dan kehampaan itu Aku bawa pulang sampai dalam tidurku, bahkan dalam tidur, senyumnya terus saja menghantuiku dan membuatku tertawa sendiri dalam kamar hingga orang tuaku menganggap Aku gila.


Ini bukan kegilaan, ini tentang Perasaan yang disebut cinta yang sulit dimengerti begitupula dengan Aku.

Pattimorang Gua Bessi Mallajang

Percika bunga api yang menyembur memecah gelap malam. Dari kejauhan, suara pertarungan antara palu dan besi yang telah melebur dalam panasnya arang memecah kesunyian malam. Cahaya dan bunyi ini acap kali terdengar setiap malam pertama dan kelima dalam hitungan minggu. Tapi entah kenapa, semusim ini cahaya dan suara itu terus saja terlihat dan terdengar dari belakang rumahku di seberang bukit di dalam Gua Pattimorang.

Gua itu disebut Pattimorang oleh penduduk setempat karena tanah disekelilingnya begitu tandus sehingga rerumputan tidak satupun yang tumbuh. Hanya satu batang pohong beringin yang tumbuh pas didepan mulut Gua yang begitu besar, tinggi dan akar-akarnya bergelantungan. Menurut kakekku, Pohon itu sudah tumbuh lama sebelum kampungku. konon, setiap pasukan Arajang yang akan pergi berperang yang tidak memiliki senjata akan datang ke mulut Gua bersemedi dan berpuasa selama empat puluh hari, jika beruntung mereka akan membawa pulang senjata yang mereka kehendaki sehingga selain di sebut Gua Pattimotang tempat itu juga disebut dengan Gua Bessi mallajang.

Kabar dari kampung seberang sontak membuat panik Kakek, Kabar akan adanya selisih paham antara Antara keluarga  La Tenri beta dengan Karaeng Lompo Golo akan membawa petaka dalam kampung kami. Kampung yang aku tinggali ini merupakan tanah perbatasan antara kedua keluarga yang berkuasa. Kampung ini tepat berada di atas bukit yang menjadi tempat yang strategis untuk menghalau lawan karena di kedua sisi terdapat jurang yang dalam dan hutan Sobbu, hutan yang sangat luas dan ditumbuhi pohon-pohon rimbung  dan dihuni banyak ular dan binatang buas. sudah banyak orang-orang yang masuk ke hutan mencari kayu untuk membangun rumah atau kayu bakar hilang begitu saja sehingga tidak sekalipun dari penduduk kampung berani masuk.

Pertikaian kedua keluarga besar ini dipicu hanya masalah sepele, Ayam La Pongrong anak La Tenri Beta kalah dalam sabung ayam oleh anak Karaeng Polo Bangkeng anak Karaeng Lompo Golo. Karena Ayamnya kalah dan tidak terima, La Pongrong marah dan bermaksud menikam Ayam Karaeng Polo Bangkeng, sebelum menikam Ayam Karaeng Polo Bangkeng, La Pongrong ditikam oleh Karaeng Polo Bangkeng. sehingga La Tenri Beta sangat marah dan mengumpulkan sanak keluarganya untuk menuntuk balas kematian anaknya yang tewas tertikam seperti ayamnya. Kabar ini lah yang membuat panik Kakek, Pertikaian ini akan menjadi semakin besar dan melahirkan banyak korban yang mungkin akan menimpa Kampung ini, kampung kelahiranku.

Kabar yang datang ini menjadi bungan tidurku yang acap kali membuatku bermimpi dan terbangun tengah malam. dalam mimpiku, Cahaya merah terang menghiasi kampungku, teriakan tangis bergema di mana-mana, darah berjatuhan dari langit layaknya hujan lebat ditengah malam, dan Perempuan-perempuan berlari tanpa pakaian dengan bola mata pecah dan luka sayatan disana sini menghiasi sekujur tubuhnya.

Mimpi yang datang acap kali itu aku ceritakan kepada Kakek. kakek sontak terkejut diam dengan wajah datar dan pucat.

" Maragaki, Macole moa pappaneddita Puang ?".

"Enna Nak, Katulu-tulumu ritu pada lebba katulu-tulukku, Ula Loppo mallomo makkalukiki kampponge, Inddomu, Anrrimu Becce, na Sappomu kuwita ri tingroku lari mappelang-pelang enna matanna na cera mitti-mitti  messu manccaji wae matanna, Mata essoe mangcaji macella". Kata Kakek dengan nada pelan dan air mata menetes membasahi kulit pipinya yang berkeriput.

 "jadi ku pakkituni Puang, elona Ia maraga, Ambbeku mallajang ni lao Ri Dewata SeuwaE, ennani barumppungnna Kamppong Ri Ngaliki e ri La Tenri Beta na Karaeng Lompo Golo, pada leluasani mattama ri Kampponge malluja".

"Ku pakkitu Nak, pada paggasuani Sapponu nannia silong-silongmmu huranewe baja ri Bolae, na ri caritaki maraga colenna". Kata kakek dengan nada rendah dan wajah yang sama, wajah dengan pucat dan air mata.

Keesokan harinya, saat mentari tepat diatas kepala, Karaeng Lompo Gola dengan menunggangi kuda hitam bersama puluhan laki-laki dengan Badik dan Sapukala terselip di pinggangnya datang kerumah dan mencari Nenekku.

"Tegaki Puang Sattu Allang ?". Kata Karaeng Lompo Golo dari atas kuda Hitamnya.

"Iye engka moi ri laleng ri Bolae Karaeng, mattamaki iye ri laleng bolae".

Dengan destar merah tegak berdiri, karaeng Lompo Gola turun dari kuda hitamnya dan naik kerumahku, Langkah kakinya menapaki satu persatu anak tangga rumahku, Ia naik Kerumahku bersama empat laki-laki lainya dengan destar merah tegak berdiri dan Sapukala menghiasi pinggang mereka. Wajah mereka tidak sama sekali rama, dengan wajah yang muram dan rambut panjang terurai turun sampai ke bahunya. mereka kemudian duduk bersilah sambil menggulung tembakau yang mereka ambil dari lipatan sarungnya.

"Puang Sattu Alang, Iya lao kewe ri bolamu mappalettu ada". Kata Kareng Lompoa dengan nada tegas.

"Iye aga arodo Kareng adatta". Balas kakek dengan nada pelan.

"Ri pitungesso, Idi sibawa Sajitta marana nannia Iya maneng tauwwe ri kamppongnge kwede pada nasalaiki bolana, lecceki mabela-bela. nannia ritu taroangnga anak burane malessie nannia bata na berremu ri bolae kwede, nasaba areddi Kampponge kungakuiki punnaku nannia sajikku, punna teaki lecce, tania carita melampe Puang Sattu, Idi sibawa tauwwe makkita anu makalallaing". Ucap Karaeng Lompo gola dengan nada tegas, berdiri, dan beranjak turun dari rumahku bersama keempat laki-laki lainya. Setelah itu mereka kemudian pergi begitu saja dan menghilang di ujung jalan.

Kata-kata Karaeng Lompo Golo bagai petir yang menyambar kepalaku, pecah dan berceceran ditanah. Ucapan uang mengharuskan dan tidak boleh tidak untuk pergi meninggalkan Rumah, Kampung, Makanan kami ini dan jika kami menolak maka sesuatu hal yang tidak terbayangkan akan menimpa kami dan seluruh penduduk Kampung.

Malam pun tiba, Rumahku penuh sesak dengan kedatangan penduduk Kampung yang lain,Tetua dan pemuda Kampung ada di dalam rumah duduk bersilah membicarakan tindakan apa yang akan kami tempuh, dan di bawah rumah perempuan dan anak-anak menunggu keputusan apa yang akan kami ambil, keputusan yang akan menentukan nasib kami, nasib anak-anak, pera Ibu, dan pemuda Kampung. Pembicaraan malam itu menghasilakan tiga keputusan. pertama, pergi meninggalkan desa, menyimpan sebagian makanan dan Laki-laki yang sehat kuat untuk membantu Karaeng Lompo Golo melawan keluarga La Tenri Beta. Kedua, mengutus utusan ke Keluarga La Tenri Beta untuk membantu kami melawan Karaeng Lompo Golo. dan Ketiga adalah pilihan terakhir dimana kami akan melawan siapapun yang masuk ke Kampung kami. dari ketiga keputusan itu membawa pembicaraan yang alot dan panjang. Kami tidak boleh pergi meninggalkan Kampung, makanan, dan Laki-laki. maka pada malam itu keputusan yang kami sepakati adalah keputusan kedua dan ketiga, Kami harus segera mengirimkan utusan untuk berbicara dengan Keluarga La Tenri Beta.

Aku adalah pemuda cucu dari orang yang dituakan di Kampung, Ambbeku adalah seorang To Barani yang gugur dalam perang membela Mangkasue Ri Bone. Hampir setiap pemuda yang ada di Kampungku memiliki badik dan parang warisan dari ayah mereka, hanya saya yang tidak mendapat warisan dari Ambbekku.

Masalah ini sontak menjadi sebuah kekurangan dalam kedewasaanku, aku adalah seorang pemuda dari To Barani pasukan Mangkasau dan cucu dari orang yang sangat dihormati, sedangkan warisan seperti Badik dan senjata lainnya tidak saya miliki. Hal ini merupakan sebuah kekurangan bagi laki-laki dalam adat keluarga dan suku aku. bagi seorang laki-laki Bugis yang beranjak dewasa, adalah sebuah keharusan untuk mengcukupkan tulang rusuk mereka yang dipinjamkan kepada perempuan yang kelak mendampinginya. sebelum menemukan perempuan itu, Laki-laki itu harus menggantinya dengan Badik yang diselipkan di pinggangnya, selain sebagai simbol kelaki-lakian, Badik ini juga merupakan simbol bahwa si pembawa badik siap menjaga dan mempertaruhkan Siri dan keluarga mereka dari segala macam gangguan, sehingga Laki-laki yang menyelipkan Badik di pinggangnya berarti adalah seorang Laki-laki yang memiliki martabat dan kedewasaan yang tinggi.

Cerita dari kecil tentang adanya Gua Pattimorang, tempat para pasukan To Barani Arrajang mendapatkan pusaka mereka membangunkanku. Ternyata malam ini adalah malam Jumat dengan Rembulan yang bersinar cerah, malam yang tepat untuk mendapatkan pusaka untuk saya sendiri. Tanpa pikir panjang, hanya dengan baju dan sarung saya kemudian berjalan menuju Gua Pattimorang di bawah sinar rembulan, di balik rerimbung hutan dekat jalan setapak menuju Gua terdengar banyak suara tawa dan teriakan yang samar, kadang suara tawa itu berubah menjadi suara rintihan, bulu-bulu halus di tangan dan kakiku serasa begitu tebal, punggungku begitu berat dan panas, segala mantera yang di ajarkan Kakek keluar silih berganti, kakiku terus melangkah, dalam otakku yang terpikirkan adalah datang ke Gua Pattimorang dan pulang membawa apa yang aku inginkan.

Keringat bercucuran di wajahku, napasku terengah-engah, kakiku terasa sakit tertusuk ranting dan rumput yang aku lalui, Mulut Gua dengan Akar-akar pohon beringin bergelantungan nampak begitu jelas disinari cahaya rembulan. dalam Gua terlihat begitu gelap dan sesekali terasa hembusan angin keluar dari mulut Gua, di bawah Pohon beringin terdapat batu yang dukup besar dan datar dengan sisa sesaji, selain itu berbagai jenis bunyi terus saja silih berganti datang dan pergi, suara tawa dan tiba-tiba berganti dengan suara tangisan dan rintihan. dengan mengumpulkan sisa keberanianku setelah perjalanan tadi, aku mencoba memanjat naik ke batu dan duduk bersila sambil memejamkan mata. rasa panas dan keringat yang membasahi tubuhku tiba-tiba hilang  bergantikan dingin yang begitu menusuk tulang, aku terus mencoba menahan dingin yang menyerang kulit-kulitku yang serasa jutaan semut menikamkan taringnya dan menembus sampai ke tulang. aku terus berusaha menahan rasa dingin. Tiba-tiba seluruh bunyi menghilang, rasa dingin menjadi hangat, kuberanikan membuka mata, yang ada hanya kekosongan ruang gelap yang dengan keheningan yang maha hening yang semakin membuatku mengantuk dan tidak tertidur.

Saat terbagun, muncul didepanku sebilah badik dengan urat yang berkilau disinari cahaya mentari. tanpa aku sadari, ternyata aku telah tertidur di bawah pohon Beringin itu sampai mentari bersinar cukup terik dan panas. Akhirnya, usaha dan keberanianku yang aku kumpulkan membuahkan hasil, tenyata cerita tentang Gua Bessi Mallajang benar-benar nyata, aku pulang dengan membawa sebilah Badik, akhirnya aku menajadi lelaki yang utuh.

Keesokan harinya, saat cahaya mentari muncul di selah-selah Gunung Lompo Battang. Saya, Kakek, dan dua pemuda lainnya pergi ke ke Kampung seberang, kampung keluarga La Tenri Beta untuk membicarakan masalah yang menimpa kami sekaligus meminta bantuan. Perjalanan kami tempu sehari dengan menunggangi kuda dan sampai saat sore hari.

"Tabe Puangkku mallompoe La Tenri Beta, Ri Addampengangnka, Ia lao mai ri olota millau pammase Ri Puangkku malompoe. Nasaba idimi nasibawa Karaeng Puangku Dewara SeuwaE mulle mperengka pammase nasaba Karaeng Lompo Golo pole ri kamppongkku elo mappinasa". Ucap kakek dengan wajah menghadap lantai papan dan suara pelan.

"Puang Sattu Alang, Enna gaga mulle kupirengki, nasaba iya parellu to, baja ribajae iya mito lebbi riolo lao ri kamppongmu mongro mattaro to barani nannia engka wettu macole nooriki kamppongnna Lompo Golo. Jadi seddimi ku arengnggi akessingeng. pada leccemiki lao mabela laiki kamppongmu, Hurane malessie, nannia tarowi aga-agammu iyanaritu berre, bata, nannia olo kolummo, Iya mi ro Puang Sattu Alang". Ucap La Tenri beta dengan nada tegas dan tidak dapat lagi ditawar-tawar.

Kami pulang malam itu juga, Keputusan La Tenri Beta sama halnya dengan keputusan Karaeng Lompo Golo. Keputusan itu membuat kakek tak berbicara sepatah kata pun diatas kuda dalam perjalanan kami pulang ke kampung.

Kami sampai di Kampung sama dengan waktu kepergian kami, kami sampai saat cahaya mentari muncul disela-sela Gunung Lompo Battang. Kakek langsung turun dari kuda.

"Nak, paggasua manenggi huranewe ri Bolae". Ucap kakek dengan tegas.

Tanpa pertanyaan, Aku dan kedua pemuda yang kutemani langsung pergi kerumah-rumah penduduk kampung dan memberitahukan mereka agar segera berkumpul di rumah kakek. Saat mentari semakin panas, seluruh penduduk kampung pun berkumpul di rumahku.

"Enna gagana pappileang, seddimi bahang, Ri patettongi sirita nannia mehaki lettu tubutta kasarae reddi massedi ritanae". Ucap kakek dengan tegas dan menghunuskan Badik yang Ia selipkan disarungnya. Para laki-laki pun membalasnya dengan ucapan yang sama.

Malam harinya, penduduk kampung telah datang dengan hal yang sama, badik terselip dipinggangnya untuk membicarakan rencana mempertahankan kampung. Pembahasan malam itu sangat lama hingga ayam berkokok. Kami akan melawan secara gerilya dengan menghadang mereka di tebing batu, saat mereka lewat kami akan mejatuhkan batu dari atas tebing dan menyerang langsung siapa saja yang selamat. itulah rencana yang akan kami lakukan untuk mempartahankan Kampung kami dan Siri kami.

*** BERSAMBUNG ***

Katangka, 13 Dhul Qa'dah 1436 H / 28 Agustus 2015
Oleh : Zulengka Tangallilia

Aku dan Setangkai Senyum

Desahan nikmat yang keluar mengalir bersama napasnya membuatku teringat luka tujuh musim silam, tubuhku panas tak terkendali, Aku hanya mampu menyaksikannya lagi kali ini. Jemariku dengan lugas menancapkan obeng kedadanya. darahnya mengaliri kulitku. Kehagatan darah yang semakin menyelimuti tubuhku adalah sebuah surga yang aku dapatkan dalam keseharianku, entah berapa banyak lelaki yang meregang nyawa dari nikmat yang aku persembahan padanya. Kehangatan darah itu candu dalam hidupku. Aku adalah Wanita Iblis yang datang merenggut mimpi-mimpi.