Tanjung Bira

Tanjung Bira, Kab. Bulukumba, Prov. Sulawesi-Selatan, Indonesia.

Sanggar Seni Panrita

STIKES Panrita Husada Bulukumba

Sekolah Sastra Bulukumba

Sekolahnya Penulis Bulukumba

Lopi Phinisi

Melanglang buana menerjang ombak mengarungi samudera

Suku Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan

Hidup Selaras dengan Alam sebagai Kosmologi Suku Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan

Saturday, October 10, 2015

Mengangkang

Puisi ini kupersembahkan kepada sahabatku yang jauh di sana. Terima kasih, Sepi dan Air mata yang engkau ceritakan kini menimpaku pula.

Mengangkang
*****

Duduklah kawan
dengan segelas kopi dan aduk dengan pelan
dan saksikan mereka terbang dengan angan
yang semakin dalam

Tertawalah kawan sampai melayang
Mereka adalah pemikir
Mereka adalah pekerja
Mereka adalah Pemimpin
dan itu Mereka.

Nikmatiah kopi itu kawan
dengan pahit yang melawang
membuatmu mengangkan dan semakin terangsang

Jangan terlelap kawan
mereka akan datang
membawa senyuman
dan bingkisan

itu sudah cukup kawan
buat makan sebulan
melawan kelaparan
dan kemarau panjang

Jangan lupa kawan
mereka adalah teman
dengan banyak harapan
beberapa tahun ke depan

Tapi !.

Jangan larut kawan
mereka perangsang
membuatmu melanglang
terbang melayang

jatuh terpanggang


Makassar, 18 September 2015
Oleh : Zulengka Tangallilia

Hutan Jati

AKU ingat betul masa itu. Masa entah berapa musim yang lalu, Rerumputan diam mematung, Daun-daun kering berserakan, Pohon jati kering kerontang, Burung-burung berkicau, di ujung daun rerumputan terlihat jelas setetes embun pagi yang tepat didepan bola mataku, dekat batang kayu jati menjadi tempat yag sangat cocok untuk tubuhku menyatu degan tanah.

Penantianku tiga hari yang lalu terlampiaskan, riuh suara mobil dengan asap tebal membumbung yang berbaris berentetan bagai semut telah tiba tepat dibawahku. Aku mulai meghitung satu persatu mobil yag lewat dan segera berlari menuju bukit seberang tempat kami akan menghadang. dengan pelang, aku merayap mundur dengan pelang, semakin pelangnya burung-burug yang bertengger di atas ranting pohon tidak ketakutan terbang dan setelah merasa cukup jauh aku pun berlari menuruni bukit dan berenang ke sungai tepat di bawah jembatan dan berlari mendaki bukit melaporkan jumlah mobil yang telah terlihat. Saat itu, ada tiga truk dan satu lebih kecil daripada truk menggandeng meriang yang telah lewat, satu mobil truk dengan sepuluh orang duduk berjejer berhadapan, sedangkan mobil terdepan yang lebih kecil degan empat orang yang duduk dengan posisi yang sama.

Suara ledakan memecah keheningan hutan jati di pagi itu, rentetan letusan senjata meletus hingga tak terhitung, suara itu dari atas bukit mengarah ke bawah, Mobil truk yang semula melaju pelan langsung berhenti dan puluhan tentara yang diangkutnya berhamburan menjatuhkan diri mereka ka atas tanah dan menggulungkan tubuhnya ke hutan-hutan jati yang ada di sisi kirinya.

"Bidik tepat dikepala orang yang terakhir turun dari truk". Ucap komadan Sakka.

Setelah beberapa saat, tentara yang terakhir turun melompat menjatuhkan diri ke tanah dengan senjata yang lebih besar, senjata yang Ia bawalah yang menaajdi incaran kami, Senjata Bren yang memuntahkan puluhan peluru ini menjadi misi utama kami pagi ini, senjata ini memang sangat langkah, dari sekian Kompi yang kami sergap beberapa bulan yang lalu, kami hanya berhasil mendapatkan lima pucuk senjata. Sesaat kemudian Tentara yang berlari membalas tembakan kami, desing suara peluru terus berbunyi tepat diatas kepalaku, batang pohon jati berlubang dihantam ujung peluru.

Beberapa saat, suasan menjadi hening tanpa suara. keringat membasahi kepalaku semakin menjadi-jadi, setelah beberapa saat. Peglihatanku gelap, tubuhku dingin, aku semakin mengantuk dan tertidur tepat disebelah Pohon jati yang saat ini mulai besar dan besok pagi akan segera ditebang.

Oleh : Zulengka Tangallilia


Aku dan Lelaki Paruh Baya

PONDOK

Angin berhembus begitu kencang, ombak begitu riuh menghantam karang, cahaya rembulan entah kenapa malam ini lagi-lagi menghilang. Suara riuh menemaniku malam ini menatap pondok yang selalu membuatku kembali ketempat ini, tempat yang sama dalam waktu yang lama.

Pertemuanku pada pemilik pondok ini terjadi saat Ia memulai bercerita tentang misteri sebuah Gua, tempat yang menyimpang sejuta cerita masa lalu yang aku senangi, pertemuan inilah yang membuatku datang untuk sekian kalinya hingga sepuluh musim silang aku datang menghampiri pondok ini menemaniku menghapus rasa penasaran yang terus saja mendera. Yah, malam itu sama dengan malam ini, malam yang gelap gulita dan hanya deburan ombak dan angin yang bertiup kencang. Malam itu aku habiskan dengan cerita-cerita lampau yang penuh dengan misteri.

Pemilik pondok ini adalah lelaki paruh baya yang memiliki tubuh jangkung dan otot yang kekar. Ia mendapatkan otot itu karena setiap hari mendayung sampan ke tengah laut untuk memancing, Lelaki ini adalah seorang pelaut yang tinggal sendiri dipondoknya, pondok yang terletak di Sebuah kebun kelapa pinggir laut jauh dari pemukiman penduduk. Konon, lelaki ini memiliki pengetahuan yang banyak tentang tempat-tempat yang misterius yang ada disekitar Desa ini sekaligus menjadi Sanro di Gua yang banyak orang jadikan sebagai tempat mencari wangsit.

Malam itu aku lalui dengan bercerita banyak tentang tempat yang akan kami tuju. tuturnya, tempat ini merupakan tempat yang sangat angker, tempat banyak orang untuk meminta kekayaan sekaligus tempat seorang puteri separuh ular yang sangat cantik, yang dapat mengabulkan semua permintaan orang-orang yang datang, dan banyak dari mereka tidak pernah kembali atau menghilang secara misterius, Karena banyaknya orang yang telah hilang, warga desa tidak ada yang berani mendekat dan satu-satunya yang tahu betul dan sering kali datang ke Gua adalah Kakek paru bayah , tempat itu terletak disebuah pantai yang dikelilingi karang terjal dan rerimbun hutan, pantai itu berpasir putih dan masih sangat bersih, Katanya tempat itu kurang diketahui oleh orang banyak. Kalimat-kalimat inilah yang semakin membuat rasa penasaranku semakin memuncak dan tak tertahankan lagi untuk menjelajahinya.


HARI YANG DINANTIKAN

Bias cahaya mentari pagi membangunkanku, angin hilang entah kemana, sampah-sampah dan dahan-dahan pohon memenuhi pantai yang terbawa ombak semalam dan bertumpuk begitu saja. Akhirnya, pagi datang saatnya menelusuri tempat yang kami bicarakan semalam.

Perjalanan pun kami mulai, kami naik sampan untuk menuju ketempat. menurut Lelaki paruh baya itu, tempat yang akan kami tuju senarnya bisa dilalui jika air laut surut, cukup berjalan kaki dari Pondoknya dan melewati satu anjjungan karang, tapi air laut sedang pasang, jadi kami pun harus menggunkan sampan miliknya, jikalau lewat hutan pasti sangatlah merepotkan dan berbahaya kerena rerimbun pohon dan banyak ular yang mendiami celah-celah batu.

Perjalanan kami saat itu sangatlah indah dan membuatku bersemangat, aku yang terus menggayu penuh semangat akhirnya menemukan pantai yang kami tuju, dari kejauhan nampak noda hitam tepat ditengah-tengah pantai yang diapit batu karang, Lelaki Paruh Baya itu pun menunjukkan bahwa itulah tempat yang akan kami tuju, Gua yang membuatku bertanya-tanya. Perahu sampan kami giring ke pinggir Pantai, aku yang sangat bersemangat tidak merasakan betapa beratnya perahu sampan. Sebelum meninggalkan perahu Ia mengambil sesuatu yang terbungkus kain putih yang Ia telah persiapkan.

"mau diapakan itu kek ?"

"Ini adalah syarat kita untuk masuk ke Gua itu !" Jawabnya dengan singkat.

Sesaat kemudian, kami pun mulai masuk kedalam Gua, Perasaan takjub dan senyum menghiasi bibirku, tempat yang sangat luas dan asri dengan hiasan Stalagtit yang masih meneteskan titik-titik air terus berjatuhan menimpah pundakku, baju yang kukenakan pun basah, Romba yang kami bawa pun harus kami lindungi dari terpaan tetesan air yang terus menghujan, perjalanan menelusurinya pun harus berhati-hati karena bebatuan sangat licin, kamu terus menelusuri Gua dengan kilau bebatuan diterpa cahaya Romba. Perjalanan kami pun terhenti sesaat sesaat lelaki paruh baya itu menyalakan Pelita-pelita yang jumlahnya sangat banyak dan menyinari seluruh Gua, nampak Stalaktit yang besar dari atas, Tempat yang besar dan sunyi.


LELAKI PARUH BAYA

Lelaki paruh baya itu memiliki tiga orang anak, anak pertamanya meninggal dunia saat pergi melaut, sedangkan anak kedua dan ketiganya meninggal dunia karena sakit. Istrinya meninggal dunia karena penyakit yang sama dengan anak kedua dan ketiganya. Semula Ia bermukin di Desa sebelah, tapi setelah dicurigai memiliki ilmu hitam, Ia akhirnya diusir oleh warga dan bermukin di sebuah kebun kelapa Pinggir pantai milik salah satu kerabatnya. Dulunya ia adalah seorang pelaut ulung dan pemberani. Ia telah sampai ke negeri orang-orang yang berkulit putih berbadan tinggi dan besar.

Menurut warga sekitar, Ia adalah orang yang suka menyendiri dan misterius. Seluruh keluarganya telah meninggal dunia, tapi maqam mereka sampai saat ini tidak diketahui oleh mereka.


SUNYI MENDEKAP

Tiba-tiba hantaman benda yang sangat kencang menerpa pundakku, tubuhku seolah-olah mati rasa. telingaku berdengung, tubuhku kehilangan keseimbangan, pandanganku menjadi gelap, aku terjatuh tersungkur ke lantai Gua. Tubuhku tidak bisa aku gerakkan.

"Temani ibumu nak !, Kita kan selalu bersama, Ia telah lama menunggumu, begitupun adik-adikmu".

Suara itu tiba-tiba membangunkanku, perasaan takut menghampiriku. Saya terbaring dengan kedua kaki terpasung dan banyak tengkorak manusia berjejeran rapi di dinding Gua. Lelaki paruh baya itu ternyata yang telah memukul pundakku dengan kayu yang ia bungkus kain putih. Ia telah memasung kakikku dengan balok kayu dililit rantai saat aku tidak sadarkan diri.

"Kenapa kamu lakukan ini kek ?".

"Aku adalah Ambbemmu nak, kamu jangan lagi pergi melaut, ibu dan adik-adikmu selalu saja sakit setelah kamu tinggalkan, tinggallah disini menemani mereka". Ucapnya dengan mata menakutkan.

"Aku ini bukan anakmu, lepaskan aku !".

Ia kemudian meniup satu persatu pelita hingga padam dalam gua dan tak memperdulikan teriakan-teriakan dari mulutku, Ia berjalan keluar Gua meninggalkanku dalam kegelapan. Aku terus saja berteriak sekencang-kencangnya, entah berapa lama kuberteriak berharap seseorang mendengar dan melepaskan pasung itu, suaraku semakin parau, tubuhku dingin dan rasa haus sangat mendera, malam mendekap erat-erat hingga tubuhku semakin lama semakin tidak aku rasakan lagi.

Hingga saat ini, disetiap angin bertiup kencang, aku selalu saja datang menghampiri Pondok ini, Pondok tempat orang yang dapat melespaskan pasung dari kedua kakikku, membawaku dari tempat yang begitu gelap, gelap yang telah lama mendekapku.

*** Terima Kasih ***

Arti kata
1. Sanro : Dukun
2. romba : Sejenis pelita yang terbuat dari bambu yang diisi dengan minyak tanah dan sumbuhnya biasa terbuat dari sabuk kelapa atau kain.
3. Ambbemmu : Sebutan ayah (-mmu : Saya) dalam bahasa Bugis.

Terima Kasih


Bulukumba, 3 Dhul Qa'dah 1436 H / 17 Agustus 2015

Pattimorang Gua Bessi Mallajang

BUNGA API

Percika bunga api yang menyembur memecah gelap malam. Dari kejauhan, suara pertarungan antara palu dan besi yang telah melebur dalam panasnya arang memecah kesunyian malam. Cahaya dan bunyi ini acap kali terdengar setiap malam pertama dan kelima dalam hitungan minggu. Tapi entah kenapa, semusim ini cahaya dan suara itu terus saja terlihat dan terdengar dari belakang rumahku di seberang bukit di dalam Gua Pattimorang.

Gua itu disebut Pattimorang oleh penduduk setempat karena tanah disekelilingnya begitu tandus sehingga rerumputan tidak satupun yang tumbuh. Hanya satu batang pohong beringin yang tumbuh pas didepan mulut Gua yang begitu besar, tinggi dan akar-akarnya bergelantungan. Menurut kakekku, Pohon itu sudah tumbuh lama sebelum kampungku. konon, setiap pasukan Arajang yang akan pergi berperang yang tidak memiliki senjata akan datang ke mulut Gua bersemedi dan berpuasa selama empat puluh hari, jika beruntung mereka akan membawa pulang senjata yang mereka kehendaki sehingga selain di sebut Gua Pattimotang tempat itu juga disebut dengan Gua Bessi mallajang.

Kabar dari kampung seberang sontak membuat panik Kakek, Kabar akan adanya selisih paham antara Antara keluarga  La Tenri beta dengan Karaeng Lompo Golo akan membawa petaka dalam kampung kami. Kampung yang aku tinggali ini merupakan tanah perbatasan antara kedua keluarga yang berkuasa. Kampung ini tepat berada di atas bukit yang menjadi tempat yang strategis untuk menghalau lawan karena di kedua sisi terdapat jurang yang dalam dan hutan Sobbu, hutan yang sangat luas dan ditumbuhi pohon-pohon rimbung  dan dihuni banyak ular dan binatang buas. sudah banyak orang-orang yang masuk ke hutan mencari kayu untuk membangun rumah atau kayu bakar hilang begitu saja sehingga tidak sekalipun dari penduduk kampung berani masuk.

Pertikaian kedua keluarga besar ini dipicu hanya masalah sepele, Ayam La Pongrong anak La Tenri Beta kalah dalam sabung ayam oleh anak Karaeng Polo Bangkeng anak Karaeng Lompo Golo. Karena Ayamnya kalah dan tidak terima, La Pongrong marah dan bermaksud menikam Ayam Karaeng Polo Bangkeng, sebelum menikam Ayam Karaeng Polo Bangkeng, La Pongrong ditikam oleh Karaeng Polo Bangkeng. sehingga La Tenri Beta sangat marah dan mengumpulkan sanak keluarganya untuk menuntuk balas kematian anaknya yang tewas tertikam seperti ayamnya. Kabar ini lah yang membuat panik Kakek, Pertikaian ini akan menjadi semakin besar dan melahirkan banyak korban yang mungkin akan menimpa Kampung ini, kampung kelahiranku.

Kabar yang datang ini menjadi bungan tidurku yang acap kali membuatku bermimpi dan terbangun tengah malam. dalam mimpiku, Cahaya merah terang menghiasi kampungku, teriakan tangis bergema di mana-mana, darah berjatuhan dari langit layaknya hujan lebat ditengah malam, dan Perempuan-perempuan berlari tanpa pakaian dengan bola mata pecah dan luka sayatan disana sini menghiasi sekujur tubuhnya.

Mimpi yang datang acap kali itu aku ceritakan kepada Kakek. kakek sontak terkejut diam dengan wajah datar dan pucat.

" Maragaki, Macole moa pappaneddita Puang ?".

"Enna Nak, Katulu-tulumu ritu pada lebba katulu-tulukku, Ula Loppo mallomo makkalukiki kampponge, Inddomu, Anrrimu Becce, na Sappomu kuwita ri tingroku lari mappelang-pelang enna matanna na cera mitti-mitti  messu manccaji wae matanna, Mata essoe mangcaji macella". Kata Kakek dengan nada pelan dan air mata menetes membasahi kulit pipinya yang berkeriput.

 "jadi ku pakkituni Puang, elona Ia maraga, Ambbeku mallajang ni lao Ri Dewata SeuwaE, ennani barumppungnna Kamppong Ri Ngaliki e ri La Tenri Beta na Karaeng Lompo Golo, pada leluasani mattama ri Kampponge malluja".

"Ku pakkitu Nak, pada paggasuani Sapponu nannia silong-silongmmu huranewe baja ri Bolae, na ri caritaki maraga colenna". Kata kakek dengan nada rendah dan wajah yang sama, wajah dengan pucat dan air mata.


KARAENG LOMPO GOLO

Keesokan harinya, saat mentari tepat diatas kepala, Karaeng Lompo Gola dengan menunggangi kuda hitam bersama puluhan laki-laki dengan Badik dan Sapukala terselip di pinggangnya datang kerumah dan mencari Nenekku.

"Tegaki Puang Sattu Allang ?". Kata Karaeng Lompo Golo dari atas kuda Hitamnya.

"Iye engka moi ri laleng ri Bolae Karaeng, mattamaki iye ri laleng bolae".

Dengan destar merah tegak berdiri, karaeng Lompo Gola turun dari kuda hitamnya dan naik kerumahku, Langkah kakinya menapaki satu persatu anak tangga rumahku, Ia naik Kerumahku bersama empat laki-laki lainya dengan destar merah tegak berdiri dan Sapukala menghiasi pinggang mereka. Wajah mereka tidak sama sekali rama, dengan wajah yang muram dan rambut panjang terurai turun sampai ke bahunya. mereka kemudian duduk bersilah sambil menggulung tembakau yang mereka ambil dari lipatan sarungnya.

"Puang Sattu Alang, Iya lao kewe ri bolamu mappalettu ada". Kata Kareng Lompoa dengan nada tegas.

"Iye aga arodo Kareng adatta". Balas kakek dengan nada pelan.

"Ri pitungesso, Idi sibawa Sajitta marana nannia Iya maneng tauwwe ri kamppongnge kwede pada nasalaiki bolana, lecceki mabela-bela. nannia ritu taroangnga anak burane malessie nannia bata na berremu ri bolae kwede, nasaba areddi Kampponge kungakuiki punnaku nannia sajikku, punna teaki lecce, tania carita melampe Puang Sattu, Idi sibawa tauwwe makkita anu makalallaing". Ucap Karaeng Lompo gola dengan nada tegas, berdiri, dan beranjak turun dari rumahku bersama keempat laki-laki lainya. Setelah itu mereka kemudian pergi begitu saja dan menghilang di ujung jalan.


TERUSIR

Kata-kata Karaeng Lompo Golo bagai petir yang menyambar kepalaku, pecah dan berceceran ditanah. Ucapan uang mengharuskan dan tidak boleh tidak untuk pergi meninggalkan Rumah, Kampung, Makanan kami ini dan jika kami menolak maka sesuatu hal yang tidak terbayangkan akan menimpa kami dan seluruh penduduk Kampung.

Malam pun tiba, Rumahku penuh sesak dengan kedatangan penduduk Kampung yang lain,Tetua dan pemuda Kampung ada di dalam rumah duduk bersilah membicarakan tindakan apa yang akan kami tempuh, dan di bawah rumah perempuan dan anak-anak menunggu keputusan apa yang akan kami ambil, keputusan yang akan menentukan nasib kami, nasib anak-anak, pera Ibu, dan pemuda Kampung. Pembicaraan malam itu menghasilakan tiga keputusan. pertama, pergi meninggalkan desa, menyimpan sebagian makanan dan Laki-laki yang sehat kuat untuk membantu Karaeng Lompo Golo melawan keluarga La Tenri Beta. Kedua, mengutus utusan ke Keluarga La Tenri Beta untuk membantu kami melawan Karaeng Lompo Golo. dan Ketiga adalah pilihan terakhir dimana kami akan melawan siapapun yang masuk ke Kampung kami. dari ketiga keputusan itu membawa pembicaraan yang alot dan panjang. Kami tidak boleh pergi meninggalkan Kampung, makanan, dan Laki-laki. maka pada malam itu keputusan yang kami sepakati adalah keputusan kedua dan ketiga, Kami harus segera mengirimkan utusan untuk berbicara dengan Keluarga La Tenri Beta.


BADIK

Aku adalah pemuda cucu dari orang yang dituakan di Kampung, Ambbeku adalah seorang To Barani yang gugur dalam perang membela Mangkasue Ri Bone. Hampir setiap pemuda yang ada di Kampungku memiliki badik dan parang warisan dari ayah mereka, hanya saya yang tidak mendapat warisan dari Ambbekku.

Masalah ini sontak menjadi sebuah kekurangan dalam kedewasaanku, aku adalah seorang pemuda dari To Barani pasukan Mangkasau dan cucu dari orang yang sangat dihormati, sedangkan warisan seperti Badik dan senjata lainnya tidak saya miliki. Hal ini merupakan sebuah kekurangan bagi laki-laki dalam adat keluarga dan suku aku. bagi seorang laki-laki Bugis yang beranjak dewasa, adalah sebuah keharusan untuk mengcukupkan tulang rusuk mereka yang dipinjamkan kepada perempuan yang kelak mendampinginya. sebelum menemukan perempuan itu, Laki-laki itu harus menggantinya dengan Badik yang diselipkan di pinggangnya, selain sebagai simbol kelaki-lakian, Badik ini juga merupakan simbol bahwa si pembawa badik siap menjaga dan mempertaruhkan Siri dan keluarga mereka dari segala macam gangguan, sehingga Laki-laki yang menyelipkan Badik di pinggangnya berarti adalah seorang Laki-laki yang memiliki martabat dan kedewasaan yang tinggi.

Cerita dari kecil tentang adanya Gua Pattimorang, tempat para pasukan To Barani Arrajang mendapatkan pusaka mereka membangunkanku. Ternyata malam ini adalah malam Jumat dengan Rembulan yang bersinar cerah, malam yang tepat untuk mendapatkan pusaka untuk saya sendiri. Tanpa pikir panjang, hanya dengan baju dan sarung saya kemudian berjalan menuju Gua Pattimorang di bawah sinar rembulan, di balik rerimbung hutan dekat jalan setapak menuju Gua terdengar banyak suara tawa dan teriakan yang samar, kadang suara tawa itu berubah menjadi suara rintihan, bulu-bulu halus di tangan dan kakiku serasa begitu tebal, punggungku begitu berat dan panas, segala mantera yang di ajarkan Kakek keluar silih berganti, kakiku terus melangkah, dalam otakku yang terpikirkan adalah datang ke Gua Pattimorang dan pulang membawa apa yang aku inginkan.

Keringat bercucuran di wajahku, napasku terengah-engah, kakiku terasa sakit tertusuk ranting dan rumput yang aku lalui, Mulut Gua dengan Akar-akar pohon beringin bergelantungan nampak begitu jelas disinari cahaya rembulan. dalam Gua terlihat begitu gelap dan sesekali terasa hembusan angin keluar dari mulut Gua, di bawah Pohon beringin terdapat batu yang dukup besar dan datar dengan sisa sesaji, selain itu berbagai jenis bunyi terus saja silih berganti datang dan pergi, suara tawa dan tiba-tiba berganti dengan suara tangisan dan rintihan. dengan mengumpulkan sisa keberanianku setelah perjalanan tadi, aku mencoba memanjat naik ke batu dan duduk bersila sambil memejamkan mata. rasa panas dan keringat yang membasahi tubuhku tiba-tiba hilang  bergantikan dingin yang begitu menusuk tulang, aku terus mencoba menahan dingin yang menyerang kulit-kulitku yang serasa jutaan semut menikamkan taringnya dan menembus sampai ke tulang. aku terus berusaha menahan rasa dingin. Tiba-tiba seluruh bunyi menghilang, rasa dingin menjadi hangat, kuberanikan membuka mata, yang ada hanya kekosongan ruang gelap yang dengan keheningan yang maha hening yang semakin membuatku mengantuk dan tidak tertidur.

Saat terbagun, muncul didepanku sebilah badik dengan urat yang berkilau disinari cahaya mentari. tanpa aku sadari, ternyata aku telah tertidur di bawah pohon Beringin itu sampai mentari bersinar cukup terik dan panas. Akhirnya, usaha dan keberanianku yang aku kumpulkan membuahkan hasil, tenyata cerita tentang Gua Bessi Mallajang benar-benar nyata, aku pulang dengan membawa sebilah Badik, akhirnya aku menajadi lelaki yang utuh.


NEGOISASI

Keesokan harinya, saat cahaya mentari muncul di selah-selah Gunung Lompo Battang. Saya, Kakek, dan dua pemuda lainnya pergi ke ke Kampung seberang, kampung keluarga La Tenri Beta untuk membicarakan masalah yang menimpa kami sekaligus meminta bantuan. Perjalanan kami tempu sehari dengan menunggangi kuda dan sampai saat sore hari.

"Tabe Puangkku mallompoe La Tenri Beta, Ri Addampengangnka, Ia lao mai ri olota millau pammase Ri Puangkku malompoe. Nasaba idimi nasibawa Karaeng Puangku Dewara SeuwaE mulle mperengka pammase nasaba Karaeng Lompo Golo pole ri kamppongkku elo mappinasa". Ucap kakek dengan wajah menghadap lantai papan dan suara pelan.

"Puang Sattu Alang, Enna gaga mulle kupirengki, nasaba iya parellu to, baja ribajae iya mito lebbi riolo lao ri kamppongmu mongro mattaro to barani nannia engka wettu macole nooriki kamppongnna Lompo Golo. Jadi seddimi ku arengnggi akessingeng. pada leccemiki lao mabela laiki kamppongmu, Hurane malessie, nannia tarowi aga-agammu iyanaritu berre, bata, nannia olo kolummo, Iya mi ro Puang Sattu Alang". Ucap La Tenri beta dengan nada tegas dan tidak dapat lagi ditawar-tawar.

Kami pulang malam itu juga, Keputusan La Tenri Beta sama halnya dengan keputusan Karaeng Lompo Golo. Keputusan itu membuat kakek tak berbicara sepatah kata pun diatas kuda dalam perjalanan kami pulang ke kampung.

Kami sampai di Kampung sama dengan waktu kepergian kami, kami sampai saat cahaya mentari muncul disela-sela Gunung Lompo Battang. Kakek langsung turun dari kuda.

"Nak, paggasua manenggi huranewe ri Bolae". Ucap kakek dengan tegas.

Tanpa pertanyaan, Aku dan kedua pemuda yang kutemani langsung pergi kerumah-rumah penduduk kampung dan memberitahukan mereka agar segera berkumpul di rumah kakek. Saat mentari semakin panas, seluruh penduduk kampung pun berkumpul di rumahku.

"Enna gagana pappileang, seddimi bahang, Ri patettongi sirita nannia mehaki lettu tubutta kasarae reddi massedi ritanae". Ucap kakek dengan tegas dan menghunuskan Badik yang Ia selipkan disarungnya. Para laki-laki pun membalasnya dengan ucapan yang sama.

Malam harinya, penduduk kampung telah datang dengan hal yang sama, badik terselip dipinggangnya untuk membicarakan rencana mempertahankan kampung. Pembahasan malam itu sangat lama hingga ayam berkokok. Kami akan melawan secara gerilya dengan menghadang mereka di tebing batu, saat mereka lewat kami akan mejatuhkan batu dari atas tebing dan menyerang langsung siapa saja yang selamat. itulah rencana yang akan kami lakukan untuk mempartahankan Kampung kami dan Siri kami.

*** BERSAMBUNG ***

Katangka, 13 Dhul Qa'dah 1436 H / 28 Agustus 2015
Oleh : Zulengka Tangallilia







Bulan Merah

Kretek yang mengepul keluar dari mulutnya, dihisapnya dalam-dalam sembari menyeduh kopi menantang malam. Angin berhembus pelan dan pohon-pohon mematung menepis cahaya rembulan yang bersinar terang malam itu.

Penjagaan yang ketat malam itu dilakukan karena salah satu pelaku zinah yang telah ditangkap sore tadi akan di rajam pas diperempatan jalan dibawah pohon asam. Rencananya mereka akan segera dikubur di bawah pohon itu dengan tubuh dikuburkan dan hanya kepala yang menghadap langit  sembari dilempari batu oleh para pejalan kaki yang akan kepasar. Yah begitulah hukuman bagi mereka yang telah berbuat zinah, selain itu bagi mereka yang mencuri akan ditangkap dan diseret ke pohon asam itu dan tangan mereka akan dipotong, sekali terbukti mencuri maka jari-jari tangannya akan dipotong, jika kedua kali maka lengan tangannya yang akan dopotong, jika mengulagi lagi maka Ia harus merelakan kepalannya terpisah dari tubuhnya dan ditingkkalkan begitu saja membusuk begitu saja atau dimakan anjing hutan dibawah pohon itu. jika beruntung, maka tubunnya akan di maqamkan.

Pelaku Zinah yang telah ditangkap sore itu hanya terus tertunduk menatap dinding dari pelepah pohon sagu, menunggu nasib mereka yang berakhir menungguh kepala mereka menjadi sasaran lemparan batu sampai napas terakhir berhembus meninggalkan jasadnya. Hami yang malam itu bertugas menjaga mereka, lepas tengah malam maka Kari yang akan menggantikannya. Sesuai perintah Komandan Hasanuddin, mereka akan di Rajam besok pagi tepat matahari muncul disela-sela Gunung Bawakaraeng. Semua persiapan telah dilakuakan, mulai dari lubang tempat mereka akan dikubur dan batu-batu yang akan menjadi penjemput maut mereka.
"Hami, saatnya saya yang berja". Ucap Kari yang telah datang dengan segepal nasi ditangannya.
"Kari, kau mau apakan nasi itu?". ucap Hami.
"Akan saya berikan kepada dia !". ucap Kari Sembari menunjuk kepada perempuan itu.
"Untuk apa lagi, mereka akan segera mati besok pagi !". Ucap hami dan kemudian pergi tidur bersama laskar-laskar lainnya yang lelah berjalan jauh mengamankan Desa dari para tentara.

dengan Nasi yang ada ditangannya, Kari menghampiri Perempaun itu dan memberikannya.
"Kau pantas mendapatkan ini, makanlah". Ucap kari sembari menaruh nasih ditempurung kelapa yang ada didekat Perempuan itu, tempurung kelapa tempat Makan tahanan minggu lalu yang telah mati karena mencuri berulang kali.

Kari kemudian membuka sarung yang diselempangnya dan mengambil Tembakau dan ia gulung sambil menatap rembulan yang bersinar terang dari sela-sela pohon, seiring hilangnya rembulan dilangit, entah berapa gulung tembakau yang Ia hisap malam itu, Ia terus memandangi Perempuan itu, perempuan yang ditinggal suaminya melaut sejak dua tahun lalu itu telah Hamil besar, Ia diketahui telah berzinah karena perutnya yang semakin membesar dan suaminya pergi melaut. Setelah ditangkap sore itu, Ia dipaksa menyebut bapak dari calon bayi itu, dan Ia menyebut sepupunya Hasan. Sore itu pula Hasan dijemput di Rumahnya, bersama mereka diarak keliling kampung dan kemudian disimpang di tempat itu.

"Saya sebenarnya tidak sanggup melakukan ini, tapi ini adalah perintah". Ucap Kari dengan gepulan asap keluar dari lubang hidungnya.
Perempuan itu hanya tetap menatap dinding dari pelepah sagu itu, dengan pandangan kosong dan air mata terus mengalir dimatanya.
"Janganlah kau menangis, Sebentar subuh, saat semua teman-temanku sembahyang subuh, saya akan melepaskan kau, tapi dia tidak !". Tunjuk Kari kepada Hasan, laki-laki yang telah diikat di rumah seberang.
Perempuan itu kemudian berpaling dan menatap hasang dari sela-sela dinding pelepah sagu, dengan mata yang penuh air mata, ia menatap Kari dengan diam.
Ayam berkokok membangunkan para laskar itu dan segera mereka pergi untuk membasu muka dan Wudhu untuk sembahyang subuh.
"Inilah saatnya, Kamu segera pergi, tapi Ingat !. Jika kau tertangkap maka saya yang akan dulu memotong lehermu". Ucapnya dengan suara pelang.
Sontak, Perempuan itu berlari meninggalkan tempatnya di tahan, dan kemudian menghilang dibalik gelap malam.
Kari pun lekas membasu muka dan Berwudhu, Ia kemudia shalat subuh bersama teman-temannya.
"Kari, dimana kau ?". Teriak Hami.
"Saya disini, saya baru saja sembahyang Subuh, kenapa ?". Jawab kari.
"Perempuan itu melarikan diri !". Jawab Hami.
"Tunggu apa lagi, kita cari". Jawab Kari.
Mereka kemudian bersiap untuk mencari, mereka terbagi emapat penjuru mata angin, Hami dan kari ka timur mengarah laut sedangakan yang lain mengarah ke arah yang lain, mentari mulai tampak membias dari Gunung Bawakaraeng. langkah kaki mereka semakin cepat, berdoa menyusul Perempuan itu. Tiba-tiba Hami melihat bekas seseorang yang telah melewati semak-semak.
"Dia pasti lewat sini". Ucap Hami
Mereka kemudian melepaskan tembakan kearah semak-semak hutan, letusan dan bauh bubuk mesiuh mengisi pagi itu, setelah menembakkan peluru sepuluh kali, mereka kemudian melanjutkan pencarian. Pencarian mereka sampai di bibir tebing, mereka melihat ceceran darah di ilalang dan daun-daun. Mereka yakin, peluru mereka telah menemui sasarannya. Pencaharian mereka berlanjut, mereka mengikuti darah yang ada di daun-daun dan semak belukar. Kari dengan perasaan taku berjalan didepan, Ia berencana menebas perempuan itu jika menemukannya, karena Ia akan mendapatkan hukuman yang berat jika teman-temannya mengetahui jika Ia telah melepaskan tawanan yang Ia jaga. Langkah Kari semakin cepat melawati hutan mengikuti jejak darah di daun-daun.

Letusan senjata terdengar, Hami yang telah menemukannya.
"Ketemu". Teriak Hami.
Kari kemudian berlari menuju suara, teriakan Hami. sesampai di sumber suara, Kari terpaku melihat perempuan yang telah Ia lepaskan dengan Bayi penuh darah ditangannya, Perempuan itu telah melahirkan seorang puteri, yah... Puteri, puteri dengan ari-ari yang belum terpotong.
"Serahkan anak itu !". Ucap Kari.
Perempuan itu tetap saja terdiam, terdiam lemas ditempatnya Ia memangku anaknya tanpa sehelai pun kain menutupi tubuhnya, perempuan itu telanjang karena sarung yang ia kenakan dipakai membungkus bayi yang Ia lahirkan. Perempuan itu kemudian menatap bayi perempuan yang telah Ia lahirkan dan menyerahkannya.

Hami yang menerima bayi itu, Tanpa ragu, Kari menebas leher perempuan itu dan berkata
"Maaf... !, biarkanlah saya yang merawat puterimu".
Kari kemudian membawa bayi itu dan meninggalkan Perempuan itu bersimbah darah tanpa kepala.

*** TAMAT ***

Bulukumba, 28 Shawwal 1436 H

Zulengka Tangallilia

INARI

Aku panggil Ia Inari, wanita yang datang pada suatu senja dari musim semi membawa setangkai bunga yang telah lama terlelap dalam dekapan dingin musim dingin. Ia datang dengan mata sayup dan bibir merah tipis. Pertemuanku dengannya terjadi empat musim semi yang lalu dengan seledang putih menari ditubuhnya digoda angin.

Aku adalah lelaki yang terlahir dengan sepi dan air mata. Tepat tangisan pertama, Ibuku mati karena dingin yang menusuk tubuhnya di sebuah gubuk ditengah hutan tepat pohon-pohon sakura menjatuhkan bunganya. Tangisan itulah yang membuat ayahku seorang pencari kayu bakar menemukanku dan menjadikan putranya, ayahku tinggal sendiri ditemani seekor anjing di pinggiran desa kaki Gunung Fuji dan beberapa musim lalu maninggal dunia.

Kehidupanku yang miskin membuat Gadis desa menjauh dariku, hari-hari aku lalu dengan bekerja mencari kayu bakar dan menukarnya dengan sekepal beras. Saat-saat Es mulai meleleh kumulai hariku masuk hutan mencari kayu bakar dan pada suatu saat ditengah hutan aku menemukan lapangan luas dengan satu batang pohon sakura dengan bunga yang kuncup. tiba-tiba aku dikejutkan dengan wanita yang datang membawa setangkai bunga dengan mata sayup dan bibir merah tipis dengan luka ditubuhnya dan terjatuh didepanku. Aku membawa pulang dan merawat lukanya, tepat sore hati ketiga Ia akhirnya terbangun dari tidurnya, Mulanya Ia diam tanpa kata dan hanya terus saja memandangiku depan perapian, tiba-tba ia bercerita jika keluarganya mati karena perampok yang menyerang desanya dan tidak memiliki tempat untuk pergi. Kami melalui hari-hari bersama, dan akhirnya menikah dan dikaruniai dua orang anak, laki-laki dan perempuan.

Pada suatu saat, anjingku melahirkan dan tiap melihat istriku selalu saja menggonggong dan ingin menerkam.

"Suamiku, sebaiknya kamu buang saja anjing itu".
"Sayang, Aku tak mungkin membuang anjing itu, Ia adalah anjing yang selalu menjaga ayahku dulu begitupun aku".
"Baiklah, jikalau itu maumu, biarlah anjing itu tetap tinggal bersama kita".

Tiba-tiba, Anjing itu melompati istriku dan ingin menerkam, Istriku takut dan melompat menjadi Rubah dan terbang masuk hutan. Tubuhku tak mampu aku gerakkan, mulutku tak mampu berkata apa-apa, kejadian itu bagai tebasan Katana seorang samurai tepat pada leher lawannya. Hari demi hari aku lalui tanpanya, Musim semi hampir berakhir dan Ia tidak pernah kembali, kedua anakku selalu saja mencari ibunya yang selalu bernyayi tiap kali ingin tidur.

Pada suatu senja, Aku kembali kelapangan tempat tumbuh sebatang pohon Sakura, tempatku pertama kali bertemu dengannya.

"Wahai istriku, meski engkau adalah Seekor Rubah, engkau tetap Istri dan Ibu dari kedua anakku. Kembalilah. aku mencintaimu dan selalu menunggumu".

*** BERSAMBUNG ***

Oleh : Zulengka Tangallilia

Karena Janji, Aku menjadikan malam ini sahabat dan menulis untukmu.

Diadaptasi dari Cerita Jepan "KITSUNE"
Pukul 02:39 AM

Makassar, 10 Oktober 2015