“Tappi” (keris) dan “Kawali” (badik) adalah dua senjata
tajam (parEwa matareng) yang berbeda fungsi pemakaiannya, meskipun dinilai
sama-sama bukan peralatan utama dalam peperangan. Pada beberapa Kerajaan di
Sulawesi Selatan semisalkan Bone, Gowa, Soppeng, Sidenreng, Tanete dan lainnya,
menempatkan Tappi pada strata Senjata Agung dan bahkan dijadikan sebagai
regalia. Maka setiap rumpun keluarga Bangsawan mewariskan “tappi” kepada setiap
pelanjut generasinya yang dipandang paling berkompeten dalam rumpung itu.
Olehnya itu, Tappi dinilai bukan sebagai senjata, melainkan lambang kehormatan
suatu rumpun keluarga Bangsawan pada zaman dahulu.
Sebagai perlambang yang memanifestasikan suatu kaum maupun
suatu Kerajaan, Tappi bahkan dijadikan sebagai perlambang pangkat/jabatan.
Tatkala seorang Raja atau pejabat adat berhalangan untuk hadir dalam suatu
undangan perhelatan, kerap mengirim Tappi-nya ke acara tersebut sebagai syarat
kehadirannya. Bahkan bagi seorang Raja maupun Pangeran pada zaman dulu, jika
hendak menikahi seorang perempuan yang berderajat “sama” ataupun “To DEcEng”,
biasanya hanya mewakilkannya pada “tappi’na” yang dibawa oleh seorang
pengikutnya (joana).
Tappi adalah perlambang kehormatan seseorang maupun kaum
sehingga dengan mengenakannya, maka ia bisa dikenali bahwa pemakainya itu
berasal dari suatu strata tertentu. Semisalkan seseorang mengenakan Tappi
bergagang gigi taring berukir dan sampirnya (pallajarengna) dibungkus logam
mulia (emas/perak) berukir, maka dikenallah ia sebagai seorang Bangsawan Tinggi
yang setidaknya berpredikat “RajEng Matase’” ataupun bahkan “sangaji”. Terlebih
pula jika warangkanya (wanuanna) terbungkus full logam mulia bertatahkan
permata, maka bisa saja ia merupakan seorang “arung” yang berderajat Sangaji
atau RajEng dari Kerajaan TellumpoccoE ataupun Tellu BoccoE. Maka Tappi
sesungguhnya adalah “tanda pangkat” bagi seseorang, maupun suatu kaum, bahkan bagi
suatu Kerajaan.
Lain halnya dengan “kawali” (badik), yang dipakai secara
umum, yakni kaum bangsawan maupun masyarakat secara umum. Berbeda halnya dengan
tappi yang merupakan perlambang kaum atau derajat kebangsawanan, kawali adalah
lambing “Siri na PessE” (harkat dan kemanusiaan). Maka kawali adalah perlambang
“Hak Azasi”. Sebagaimana halnya dengan pameo masyarakat Bugis, Makassar dan
Mandar yang menyatakan : “Tania boranE narEkko dE’ nakkawali, nasaba’ passullE
buku arusu’i ritu kawaliE lao risEsEna orowanEdE” (bukanlah lelaki jika tidak
membawa badik, karena kawali itu adalah pengganti tulang rusuk bagi lelaki).
Bahwa kaum Adam dipercayai jika rusuk kirinya berkurang satu sebagai bahan
penciptaan Hawa, maka sesungguhnya seorang lelaki dianggap tidak lengkap jika
tidak menyelipkan sebialah badik di pinggang kirinya.
Badik sebagai perlambang “hak azasi”, maka dalam setiap
kesempatan, seorang lelaki haruslah mempertahankan badiknya dengan taruhan
nyawa. Disebabkan karena ukurannya yang tidak terlalu besar, maka kawali bukanlah
senjata perang yang ideal sebagai tombak (bessi/poke) ataupun kelewang
(alameng/pEnai’/sonri’ lampE/sinangkE). Namun dipandang dari ukurannya yang
pendek, maka badik digunakan sebagai senjata jarak dekat yang dipandang ideal
digunakan dalam “sigajang laleng lipa’” (baku tikam dalam satu sarung) ataupun
“sigajang siakkaluttureng” (baku tikam yang didahului dengan prosesi saling
berhadapan dengan posisi berlutut). Namun bagaimanapun itu, kawali adalah
personifikasi paling luhur bagi kehormatan diri bagi setiap pribadi. Bahkan
lebih dari itu, kawali sebagai lambing harkat diri bahkan seringkali dipilah
dari martabat jabatan, hingga setiap orang berhak menyatakan : “dE’gaga Puangna
kawalikku sangadinna Allah Ta’ala” (tiada Tuhan bagi badikku selain Allah Ta’ala).
Menyangkut perihal mengenakan kedua jenis senjata pusaka
ini, pada zaman dahulu hingga sekarang senantiasa mengenakan keduanya dalam
berbusana adat. Petta MatinroE ri Lariangbangi, seorang Pangeran Bone
menuliskan risalah adat istiadat “Ade’ Maraja” yang juga dicantumkan dalam bab
Lontara Latoa, menyatakan bahwa kedua pusaka tersebut adalah aksesoris
pelengkap (parEwa sampu) tatkala menghadap seorang terhormat (tomalebbi) maupun
seorang Arung (raja). Hal yang sama dituliskan dalam Lontara Pangadereng Luwu
(lembar 16-17) bahwa : “ripatetti’i lE cappa’ passapuE//ripasonrEtoi lE
pamiringngE//naritappina lE kawaliE//ripaware’i lE gajangngE//risio sumange’ lE
talibennangna//mappakaraja lE riolona DatuE” (dijatuhkanlah ujung
destar//dimiringkan pulalah songkok pamiring//disematkan di pinggang badik
itu//dilintangkanlah keris//diikat semangatnya dengan tali benang //seraya
menghormat dihadapan Raja). Olehnya itu, dengan menyematkan badik dan keris
justru merupakan bagian penghormatan jika menghadap seorang Raja.
Bahwa perbedaan protokoler Eropa dan Sulawesi Selatan
sesungguhnya berlawanan arah. Seorang Eropa ketika menghadap seseorang yang
dihormatinya, maka dibukanyalah topi atau penutup kepalanya. Sebaliknya, semua
adat dan istiadat di Sulawesi Selatan dan Barat jika menghadap seorang yang
dimuliakan, dengan sedapat mungkin menutupi kepalanya, meski dengan secarik
sapu tangan. Selain menutupi kepala, seorang yang memahami adat sopan santun
(Tomakkiade’) dengan serta merta mengenakan busana terbaiknya untuk menghadap
ataupun menerima seorang lain yang dimuliakannya. Tatkala seorang terhormat
datang bertamu di rumahnya, maka ia tergopoh-gopoh mempersilahkan tamunya duduk
lalu meminta permisi masuk kedalam. Ia mengenakan sarung, baju dan songkok
terbaiknya lalu menghadap tamu agungnya yang “menunggu” di ruang tamu. Demikian
pula jika ia hendak menghadap seorang Raja di Istana (Langkana/Saoraja/Balla’
Lompoa/Salassa/SapolohE), dikenakannya busana terbaiknya, termasuk menyematkan
badik dan keris yang diikatnya dengan tali benang (passio sumange’)sebagai
tanda hormat dan kesetiaan terhadap Rajanya.
Namun pada masa ini, ada-ada saja oknum yang tidak tahu
aturan Adat yang berlaku universal di Sulawesi Selatan dan Barat ini.
Dianggapnya bahwa setiap orang yang hendak menghadap Datu, maka ia harus
“dilucuti” senjatanya. Padahal melucuti senjata, utamanya Kawali dan Tappi
seseorang adalah “penistaan” terhadap orang itu. Walaupun tradisi “mabbueng
tappi” (melucuti keris) sesungguhnya ada dalam khazanah Adat Istiadat Sulawesi
Selatan, namun hal tersebut diberlakukan bagi seorang “taklukan”. Namun jika
abdi, kerabat ataupun sahabat dari Datu (Raja) yang menghadap, maka dianggap
“pantang” (popo gamaru) jika dilucuti senjatanya. Hal yang serupa dialami oleh
KaraEng Abdul Hamid DaEng MangallE yang ketika hendak menghadap Raja Siam Phra
Narai, beliau hendak dilucuti badik dan kerisnya. Maka beliau menolak dengan
keras seraya mengamuk. Hingga beberapa hari kemudian, beliau beserta segenap
warga Kampung Makassar di Thailand (Siam) berperang hingga gugur di negeri
rantau jauh itu. Demikian pula tatkala Arung Matoa Wajo XLIV La OddangpEro
Petta MatinroE ri Masigi’na hendak dilucuti oleh pasukan Bone dibawah Ahmad
Singkerru’rukka Petta PonggawaE Bone dalam penghujung Abad 19, Sribaginda
menolak keras. Hal yang kemudian didukung oleh We PalettEi Petta Paddanreng
Tuwa, maka Petta PonggawaE yang sesungguhnya memenangkan perang itu mengalah,
demi menghargai harkat dan martabat kemanusiaan dalam ranah Assipakalebbireng.
Maka sesungguhnya, mengenakan Kawali dan Tappi adalah “Ade’
pura Onro” (ketetapan adat permanent) yang diatur oleh “Ade’ Maraja” (adat
Istiadat Istana) yang mesti diketahui oleh setiap orang yang hendak memahami
adat istiadat yang sesungguhnya. Kadang-kadang ada saja orang yang menetapkan
aturannya sendiri dengan “melarang” orang untuk menyematkan senjata pusaka
dihadapan Datu, padahal ia sendiri melanggar Protap Utama, yaitu : mengenakan
Songkok Pamiring yang lebih Tinggi dari Sang Datu sendiri dihadapan Datu.
Subhanallah.
Wallahualam Bissawwab.
Sumber :
Doposkan lewat Facebook oleh Abdullah La Menrirana yang
ditulis oleh To Sessungriu
0 comments:
Post a Comment