Wednesday, February 24, 2016

Nilai Adat, Raja Dan Dewan Adat

Dalam catatan hariannya yang bertarikh 3 Dzulqaidah 1354 Hijriah , La Wahide DaEng Mamiru Pabbicara Tana Tengngana Belawa menuliskan :

“Tellu ompona uleng Suleka’ida//Rilalengna taung 1354 hijerrana Nabitta // uwalai papparingerrang lao risEsE alebbirengna DatuE ri Belawa // MakkedaE ; Aja’ naita batii’ LimaE passabareng naengkai Datu MakkarungngE // Iyanaritu : Natonangi atempongeng nasaba’ tudangengna // NawElai ade’maraja naggau’ sama’ mariawataba’ // Mappuada wEkkadua tennanrupai ada rimulangna // MarEngkalinga ada tennatongengi pangaderengna // Malimangna, napakariawai To PanritaE // NarEkko siengkangni iyalima pangkaukengngE // Natunaini alebbirengna // NariwElai ri Joana // Namallajang cEro’ riyabusunginna”

(Pada tanggal 3 bulan Dzulqaidah // dalam tahun 1354 Hijrahnya Nabi kita // kujadikan peringatan terhadap sisi kemuliaan Sang Datu di Belawa // Bahwa ; Janganlah sampai terjadi hingga dilihat oleh keturunan kita tentang lima hal pada Raja yang menjalankan pemerintahan // Yaitu : Ditunggangi kesombongan atau kepongahan disebabkan tahtanya // Menjauh dari adat istiadat Istana lalu berlaku rendah dimuka umum yang tak sepantasnya bagi kemuliaan martabat mahkota yang diembannya // Tidak konsisten terhadap perkataan yang pernah diucapkannya sebelumnya // Mendengar atau menuruti suatu perkataan yang tidak dibenarkan oleh Adat Istiadatnya // Yang kelima adalah merendahkan para ulama // Jikalau kelima prilaku itu berkumpul dalam dirinya (Raja) // Maka ia menghinakan sendiri derajat kemuliaannya // Sehingga ia ditinggalkan para pengikut setianya // Raiblah darah (aura) yang didurhakai atas dirinya).

Bahwa peringatan tersebut diucapkan oleh Pabbicara Belawa dihadapan Datu Belawa sebelum meletakkan jabatannya dengan sehormat-hormatnya. Meskipun kemudian membuatnya harus menjalani hidup dengan serba pas-pasan akibat segala hartanya haruslah disita oleh Sang Datu beserta kroni-kroninya. Namun kondisi itu diterimanya, demi azas Pangadereng yang mengalir dalam darah dan nafasnya. “Percuma menjalani sesuatu jika tidak sesuai dengan makna yang sesungguhnya”, katanya tegas sebagaimana dilafaldzkan dengan bahasa Bugis yang penuh iba diri, yaitu : “rEkko maddua lalengni adanna nawa-nawaE, pusa ricapparengna”. Tiada lain yang membuatnya mundur, tatkala didapatinya Sang Datu hanya mendengarkan sepihak dari selir beserta keluarganya kala itu. Ibu selir beserta rumpun keluarganya yang menjalankan pemerintahan, Sang Datu tak lebih daripada boneka semata. Bahkan para pangeran yang tergolong “Ana’ Mattola”, yakni putera puteri mendiang Permaisuri (Arung Makkunrai) bahkan disuruh menggembala domba.

Bahwa sesungguhnya adat (baca ; pangadereng) adalah suatu nilai yang dinamis dan elastic. Meskipun ada beberapa aturan didalamnya yang mutlak harus diberlakukan, sebagaimana diistilahkan : “Ade’ Puraonro” (Adat Permanen). Adat Permanen itu pada umumnya lebih merupakan norma-norma yang pemberlakuannya dapat pula disesuaikan serta berlaku umum (prosedur tetap). Beberapa hal yang dinilai Ade’ Puraonro, antara lain : Seseorang yang hendak membeli suatu benda yang tidak diperjual belikan di pasar, SEMESTINYA mendatangi pemilik barang ke rumahnya, bukannya di tengah jalan atau Pos Ronda. Semisalkan seseorang menghendaki sebilah pusaka, maka ia mendatangi pemilik pusaka itu dengan cara bertamu sesopan-sopannya. Si pembeli harus mengindahkan istilah yang menghormat dengan menyatakan hendak “me-mahar-kan” (massompa) Pusaka yang dimaksud. Jika ia mengatakan itu “jual beli”, mestilah itu dinilai kurang sopan. Terlebih pula jika menyangkut suatu urusan yang lebih agung, yakni : Pernikahan. Pihak lelaki yang hendak “mammanu’-manu’” (lamaran tak resmi), seyogyanya menemui orang tua pihak perempuan di rumah kediamannya (bola atudangengna) dengan pakaian yang sepantasnya. Ini adalah suatu norma yang berlaku bagi semuanya.

Menyangkut perihal adat istiadat pemuliaan terhadap Raja, dalam khazanah Pangadereng Ugi (Adat Istiada Bugis), disebut sebagai bagian dari : Ade’ Maraja (Adat Agung). Bagaimana memperlakukan seorang Raja, semua diatur secara ketat dalam norma-norma itu. Bahwa menurut situasi/kondisi kekinian, seyogyanya disesuaikan menurut keadaannya. Misalnya, ; Seorang Raja yang melakukan perjalanan diluar Istananya, meskipun beliau selalu didudukkan diatas “tappErE Boddong” (tikar persegi), namun kadang-kadang haruslah duduk diatas kursi. Kemudian semua abdinya tidak boleh duduk sejajar dengan Raja, maka “arah” kursi yang diduduki oleh para abdinya dalam majelis itu yang berbeda arah dengan Sang Raja. Maka sesungguhnya adat istiadat itu senantiasa dinamis dan tidak kaku.
Pada akhirnya, suatu pertanyaan yang kerap dikemukakan pada masa kini : “Bagaimanakah hubungan Adat, Dewan Adat dan Raja ?”. Bahwa karena memenuhi aturan ADAT sehingga seorang person disebut sebagai RAJA (DATU). Pemuliaan terhadap Raja bukanlah diatur oleh Fiqi ataupun Syariat Islam, serta bukan pula oleh UUD 1945. Melainkan oleh pranata ADAT bersendikan Syariat Islam (Sara’) yang dijaga dan dijalankan oleh para Dewan Adatnya. Olehnya itu, jika seorang Raja meremehkan Adat dan Dewan Adatnya, sama saja jika MAHKOTA menolak KEPALA yang menjunjungnya. Seorang person disebut RAJA (DATU) disebabkan keluhuran ADAT (pangadereng) yang diembannya, dimana dirinya adalah SIMBOL. Maka seorang RAJA yang selalu berjalan sendiri dengan mengabaikan ADAT dan DEWAN ADATNYA, sama halnya dengan MAHKOTA yang menjauhi KEPALA-nya.
“Polo paa’, polo panni’, riElo ullEna DatuE, rilulu’ manengmua, …” (meskipun patah paha, patah sayap, jika kehendak dan kemauannya Datu, diteroboslah jua, …). Namun ikrar abdi itu masih ada “,” (koma) yang mengantarai lanjutannya, yakni : “…, rEkko natunruengngE Ade’” (jikalau itu dilandasi kebenaran Adat). Kemudian, “Angingko sio Lapuang, Nakiraungkaju, Riao miri, riakkeng teppa, muteppalireng, …” (Engkaulah angin Tuanku, Kami tak lain dedaunan belaka, dimana engkau berhembus, disitulah patik terhampar, terhembus olehmu, …). Namun itupun adalah baru “koma” belaka, lanjutannya adalah lagi-lagi ; rEkko natunruengngE Ade’” (jikalau itu dilandasi kebenaran Adat). Selanjutnya, “Bulu’-bulu’ mutettongi, bulu’-bulu kilEwo, Lompo’-lompo mutudangi, lompo’-lompo’ kilEwo, ….. rinatunruengngE Ade’” (Engkau berdiri di gunung, gunung pula yang kami kerumuni, engkau duduk di dataran tinggi, dataran tinggi itu pula yang kami kerumuni, …sekiranya itu dibenarkan oleh adat). Hingga kemudian, “Angollino kisawe’, Assuroko kipEgau’i, …rinatunruengngE Ade’” (memanggillah maka kami menjawab, menyuruhlah maka kami laksanakan, ..jikalau itu berkesesuaian dengan Adat).

Maka sesungguhnya, Adat beserta Dewan Adat pada suatu negeri adalah Legitimasi seorang person yang disebut sebagai Raja. Adat yang dijaga dan dilaksanakan oleh Dewan Adat menggariskan penghormatan dan pemuliaan atas diri seorang Raja. Namun jika Raja tidak mengindahkan atau bahkan mengabaikan Dewan Adatnya, maka sama saja jika menginjak martabatnya sendiri. Demikian pula dengan Dewan Adat, kewajibannya untuk mengingatkan seorang Raja yang sudah terlalu jauh dari jangkauan benteng Adatnya. Seorang Dewan Adat wajib pula menghormati dan menjunjung Raja-nya, namun itu berlaku selama Raja menghargai Adatnya sendiri. Sekiranya nilai Adat sudah bukan lagi suatu hal yang penting, ..maka nilai seorang Raja dan Dewan Adat tak lebih dari bulir padi tak berisi, ..atau hampa belaka. Ibarat "pajo-pajo" (orang-orangan sawah) yang meskipun mengenakan busana adat, namun tak siapapun yang sepakat jika itu boleh disebut sebagai "orang beneran". Maka segalanya lebih baik dikembalikan kepada Allah, Sang Pemilik Kemuliaan itu sendiri.

Wallahualam Bissawab.

Sumber :

Doposkan lewat Facebook oleh Abdullah La Menrirana yang ditulis oleh To Sessungriu


0 comments:

Post a Comment