Wednesday, February 24, 2016

Lingkup Pangadereng

“Memanusiakan Manusia dan Menghargai Sesama”, sesungguhnya itulah tujuan dari penerapan “Pangadereng” (Adat Istiadat) ditengah masyarakatnya, sesuai nilai dan normanya masing-masing. Maka Pangadereng adalah aturan tentang sikap diri kepada sesama manusia dan alamnya, atau dengan kata lain : Aturan Berkehidupan. Terlepas dari derajat Iman dan Taqwa seseorang, dimana hal tersebut diatur dalam suatu rana tersendiri yang dikenal sebagai “Sara’” (Syariat Islam). Olehnya itu, suatu indifidu dinilai To Makkiade’ (orang beradat) atau To dE’ Ade’na (orang tidak ada adatnya), terletak dari penilaian indifidu lainnya. Kemudian seseorang yang beriman atau tidak, sepenuhnya dinilai oleh Allah SWT.

Seseorang dinilai sebagai To Makkiade’ bahkan terlepas dari predikatnya sebagai orang baik ataupun orang jahat. Seringkali seorang jahat yang jelas-jelas sebagai “Punggawa PEllolang” (Kepala Perampok/Pencuri) bisa saja dinilai sebagai To Makkiade’ ataupun setidaknya sebagai To Misseng Ade’ (orang yang tahu adat). Bahwa meskipun pekerjaannya di dunia hitam, namun ia adalah sosok yang memiliki “pessE” (solidaritas) dan menghargai tatanan dalam lingkungannya. Ia adalah suatu pribadi yang menghormati aturan dalam lingkungan masyarakatnya, sehingga iapun melarang keras anak buahnya untuk berbuat kerusakan ataupun mencuri dalam kampungnya sendiri. “Sijaa’ jaa’na tau, naEkia dE’ nakkasolang rilaleng palla’na” (seburuk-buruknya orang, namun ia takkan melakukan pengrusakan dalam pagarnya), demikian diungkapkan bagi orang seperti ini. Ia adalah suatu pribadi yang dikenal sopan, rendah hati dan dermawan. Maka penjahat inipun dinilai sebagai orang beradat, meski tak seorangpun yang membenarkan pekerjaan pokoknya sebagai penyamun.

Sebagai aturan memanusiakan manusia, Pangadereng meletakkan norma-norma yang sekecil-kecilnya hingga mencakup aktifitas rutin bagi setiap orang. Salahsatu diantaranya, adalah aturan makan minum. Pangadereng meletakkan aturan makan minum itu sebagai suatu hal yang berkaitan langsung dengan keyakinan. Antara lain ditanamkan kepercayaan, bahwa setiap manusia ketika sedang makan (bersantap), diyakini bahwa ada Malaikat Tuhan yang memayunginya. Siapapun ia, Raja maupun Budak, ketika sedang makan, maka ada mahluk yang tak kelihatan oleh mata kasar sedang memayunginya. Ia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang sedang menerima curahan berkah dari Tuhan-nya, dengan menyantap rezeki karunia Tuhannya tersebut. Olehnya itu, setiap orang tatkala makan dipersyaratkan oleh Pangadereng untuk duduk dengan posisi sebaik-baiknya. Jika ia lelaki, ia harus “massulEkkalebba” (bersila) dengan sehidmad-hidmadnya. Jikalau ia perempuan, ia harus “maddapicu” (duduk dengan posisi kaki ditekuk menyamping) dengan sesopan-sopannya. Kemudian iapun tidak boleh berbicara sambil makan, utamanya jika ada makanan dalam mulutnya. Selain itu, ia

pun mengunyah makanan itu dengan mulut tertutup, sebagai tanda penghargaannya atas rezeki berupa makanan itu. Selanjutnya, iapun tak boleh berpindah tempat ketika sedang makan, demi penghargaan atas malaikat yang sedang memayunginya. Olehnya itulah, dipantangkan bagi siapapun untuk menyuruh (memerintah) seseorang yang sedang makan, termasuk bagi Raja. Bahkan seorang Raja sekalipun, dituntut untuk memanusiakan abdinya yang sedang melahap rezeki dari Tuhannya, serta menghargai Malaikat Utusan Tuhan yang sedang memayungi setiap orang yang sedang makan.

Adalah merupakan “PEmmali” ( pantangan) pula bagi setiap orang yang tidak memakan/meminum hidangan yang telah dihidangkan. Prilaku seperti ini dikenal sebagai “MajjulEkkai NanrE Manasu” (melangkahi nasi yang telah dimasak). Hal ini dianggap sebagai “pelecehan” terhadap Malaikat Tuhan yang telah memayungi hidangan itu. Olehnya itu, diancamlah kepada pelakunya dengan berbagai kesialan ataupun kecelakaan ditengah perjalanan. Hal yang kemudian diberitakan dalam Lontara Latoa, menyangkut kecelakaan yang menimpa Puetta MatinroE ri Itterrung. Yakni seorang Raja Bone (ArumponE) bernama La Ulio Botte’E yang sedang murka dalam suatu acara perjamuan. Sribaginda menampakkan kemarahaannya dengan meninggalkan acara perayaan itu dengan tanpa menyentuh sedikitpun makanan/minuman yang dihidangkan baginya. Hingga kemudian, ditengah perjalanannya menuju Cenrana, beliau tewas ditikam oleh sepupunya sendiri.

Maka Adat Istiadat sesungguhnya tidak hanya sekedar ritual atau upacara, melainkan meliputi tata krama dalam bersikap, bertutur kata dan lain sebagainya. Terlepas dari kelurusan niat dalam hati, namun sesungguhnya yang dapat dinilai atasnya adalah yang nampak oleh mata dan didengar oleh telinga.

Wallahualam Bissawab.

Sumber :

Doposkan lewat Facebook oleh Abdullah La Menrirana yang ditulis oleh To Sessungriu


0 comments:

Post a Comment