“Memanusiakan Manusia dan Menghargai Sesama”, sesungguhnya
itulah tujuan dari penerapan “Pangadereng” (Adat Istiadat) ditengah
masyarakatnya, sesuai nilai dan normanya masing-masing. Maka Pangadereng adalah
aturan tentang sikap diri kepada sesama manusia dan alamnya, atau dengan kata
lain : Aturan Berkehidupan. Terlepas dari derajat Iman dan Taqwa seseorang,
dimana hal tersebut diatur dalam suatu rana tersendiri yang dikenal sebagai
“Sara’” (Syariat Islam). Olehnya itu, suatu indifidu dinilai To Makkiade’ (orang
beradat) atau To dE’ Ade’na (orang tidak ada adatnya), terletak dari penilaian
indifidu lainnya. Kemudian seseorang yang beriman atau tidak, sepenuhnya
dinilai oleh Allah SWT.
Seseorang dinilai sebagai To Makkiade’ bahkan terlepas dari
predikatnya sebagai orang baik ataupun orang jahat. Seringkali seorang jahat
yang jelas-jelas sebagai “Punggawa PEllolang” (Kepala Perampok/Pencuri) bisa
saja dinilai sebagai To Makkiade’ ataupun setidaknya sebagai To Misseng Ade’
(orang yang tahu adat). Bahwa meskipun pekerjaannya di dunia hitam, namun ia
adalah sosok yang memiliki “pessE” (solidaritas) dan menghargai tatanan dalam
lingkungannya. Ia adalah suatu pribadi yang menghormati aturan dalam lingkungan
masyarakatnya, sehingga iapun melarang keras anak buahnya untuk berbuat
kerusakan ataupun mencuri dalam kampungnya sendiri. “Sijaa’ jaa’na tau, naEkia
dE’ nakkasolang rilaleng palla’na” (seburuk-buruknya orang, namun ia takkan
melakukan pengrusakan dalam pagarnya), demikian diungkapkan bagi orang seperti
ini. Ia adalah suatu pribadi yang dikenal sopan, rendah hati dan dermawan. Maka
penjahat inipun dinilai sebagai orang beradat, meski tak seorangpun yang
membenarkan pekerjaan pokoknya sebagai penyamun.
Sebagai aturan memanusiakan manusia, Pangadereng meletakkan norma-norma
yang sekecil-kecilnya hingga mencakup aktifitas rutin bagi setiap orang.
Salahsatu diantaranya, adalah aturan makan minum. Pangadereng meletakkan aturan
makan minum itu sebagai suatu hal yang berkaitan langsung dengan keyakinan.
Antara lain ditanamkan kepercayaan, bahwa setiap manusia ketika sedang makan
(bersantap), diyakini bahwa ada Malaikat Tuhan yang memayunginya. Siapapun ia,
Raja maupun Budak, ketika sedang makan, maka ada mahluk yang tak kelihatan oleh
mata kasar sedang memayunginya. Ia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang sedang
menerima curahan berkah dari Tuhan-nya, dengan menyantap rezeki karunia
Tuhannya tersebut. Olehnya itu, setiap orang tatkala makan dipersyaratkan oleh
Pangadereng untuk duduk dengan posisi sebaik-baiknya. Jika ia lelaki, ia harus
“massulEkkalebba” (bersila) dengan sehidmad-hidmadnya. Jikalau ia perempuan, ia
harus “maddapicu” (duduk dengan posisi kaki ditekuk menyamping) dengan
sesopan-sopannya. Kemudian iapun tidak boleh berbicara sambil makan, utamanya
jika ada makanan dalam mulutnya. Selain itu, ia
Adalah merupakan “PEmmali” ( pantangan) pula bagi setiap
orang yang tidak memakan/meminum hidangan yang telah dihidangkan. Prilaku
seperti ini dikenal sebagai “MajjulEkkai NanrE Manasu” (melangkahi nasi yang
telah dimasak). Hal ini dianggap sebagai “pelecehan” terhadap Malaikat Tuhan
yang telah memayungi hidangan itu. Olehnya itu, diancamlah kepada pelakunya
dengan berbagai kesialan ataupun kecelakaan ditengah perjalanan. Hal yang
kemudian diberitakan dalam Lontara Latoa, menyangkut kecelakaan yang menimpa
Puetta MatinroE ri Itterrung. Yakni seorang Raja Bone (ArumponE) bernama La
Ulio Botte’E yang sedang murka dalam suatu acara perjamuan. Sribaginda
menampakkan kemarahaannya dengan meninggalkan acara perayaan itu dengan tanpa
menyentuh sedikitpun makanan/minuman yang dihidangkan baginya. Hingga kemudian,
ditengah perjalanannya menuju Cenrana, beliau tewas ditikam oleh sepupunya
sendiri.
Maka Adat Istiadat sesungguhnya tidak hanya sekedar ritual
atau upacara, melainkan meliputi tata krama dalam bersikap, bertutur kata dan
lain sebagainya. Terlepas dari kelurusan niat dalam hati, namun sesungguhnya
yang dapat dinilai atasnya adalah yang nampak oleh mata dan didengar oleh
telinga.
Wallahualam Bissawab.
Sumber :
Doposkan lewat Facebook oleh Abdullah La Menrirana yang
ditulis oleh To Sessungriu
0 comments:
Post a Comment