Wednesday, November 5, 2014

ABDURRAHMAN AMBO DALLE ; Mahaguru Bugis, Perintis Departemen Agama

Abdurrahman Ambo Dalle
Kemundurun umat Islam Indonesia yang kita lihat dan alami saat ini, tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh para pemimpin dan tokoh-tokoh Islam yang kurang memperhatikan metode pendidikan dan seni da’wah serta tidak menggunakan senjata berupa sumber daya manusia, dan da’wah sebagaimana seharusnya. Dengan kata lain, umat membutuhkan keteladanan dan ulama serta pemimpin bangsa.

Dalam bukunya yang berjudul Anregurutta Ambo Dalle ; Mahaguru dari Bumi Bugis, HM Nasruddin Anshory Ch mengungkapkan, sangat sedikit para pemimpin dan tokoh Islam saat ini yang mampu melakukan kerja keras dibidang pendidikan, menebarkan kasih sayang kepada segenap umat dengan jalan silaturahmi, serta berjihad dengan indah melalui jalan da’wah untuk mengajak masyarakat ke jalan benar, lurus, dan lempang sebagaimana yang telah dilakukan sosok Mahaguru dari Bumi Bugis bernama Abdurrahman Ambo Dalle. 

Keteladanan ini pula yang dilakukan Ambo Dalle dalam menebarkan Islam dan kasih sayang kepada umat Islam di Sulawesi Selatan, dan murid-muridnya. Penikmat trilogy Laskar Pelangi karya Andrea Hirata tentu masih ingat dengan apa yang dilakukan Lintang, seorang anak nelayan yang harus mengayuh sepeda sejauh 40 kilometer agar bisa menuntut ilmu di SMP Muhammadiyah, Belitong.

Seperti itulah yang dicoba dilakukan anregurutta Ambo Dalle ulama asal Sulawesi Selatan ini mengayuh sepedanya sejauh 35 kilometer demi mengajar murid-muridnya dan menemui umat untuk menyapaikan da’wah. Ambo Dalle mencoba menunjukkan kepada kita sebuah ketulusan dan keteladanan seorang pemimpin dalam mengayomi dan melayani rakyat. Masihkan ada pemimpin dan ulama sekaliber dan setulus Anregurutta Abdurrahman Ambo Dalle?

Anregurutta Abdurrahman Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan, pada tahun 1900 M. disebuah desa bernama Ujungnge kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo (sekitar 7 kilometer dari kota Sengkang). Ayahnya bernama Puang Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Puang Candara Dewi.

Kedua orangtuanyalah yang member nama “Ambo Dalle”. Nama tersebut memiliki makna filosofis dalam lontara Bugis yang berarti Bapak yang memiliki rejeki yang berlimpah. Itulah harapan orang tuanya yang menginginkan anaknya agar kelak mendapat limpahan rejeki yang cukup. Alhamdulillah itu kemudian terwujud, beberapa tahun kemudian rejeki “ilmu pengetahuan dan akhlak yang luhur” yang ia peroleh dari sang Khalik dapat ia sumbangkan untuk perkembangan Islam dan kemajuan Bangsa dan Negara. Sementara nama “Abdurrahman” ia peroleh dari seorang ulama setempat bernama KH. Muhammad Ishak sejak ia berumur 7 tahun dan waktu itu ia juga sudah menghafal Al-Qur’an dengan fasih.

Menuntut Ilmu

Pada masa kecilnya, Ambo Dalle mempelajari ilmu agama dengan metode Sorogan (system monolog), yaitu guru yang membaca dan menjelaskan kitab, sementara murid mendengar dan menyimak penjelasan sang guru. Pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur’an ia peroleh dari bimbingan bibi serta kedua orang tuanya , terutama sang ibu. Agar lebih fasih membaca Al-Qur’an, Ambo Dalle belajar tajwid kepada kakeknya Puang Caco yang merupakan seorang imam Mesjid yang fasih membaca Al-Qur’an di Desa Ujungnge pada waktu itu.

Selama menuntut ilmu, Ambo Dalle tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Al-Qur’an seperti, Tajwid, Qiraah Sab’ah (Bacaan Tujuh), Nahwu, Sharaf, Tafsir, dan Fiqih saja. Tapi ia juga mengikuti sekolah yang dibentuk penjajah Belanda (Volk School) pada pagi hari serta kursus Bahasa Belanda pada sore harinya di HIS Sengkang. Malamnya ia gunakan belajar Agama.

Sementara itu, untuk memperluas cakrawala keilmuan, terutama wawasan modernitas dan post modernism, Ambo Dalle lalu berangkat meninggalkan tanah kelahirannya menuju kota Makassar untuk menjelajahi samudera makna. Di kita tersebut ia mendapatkan tentang cara mengajar dengan metodologi baru melalui Sekolah Guru yang diselenggarkan oleh Syarikat Islam (SI). Serikat Islam dipimpin oleh HOS Cokroaminoto membuka tirai kegelapan bagi wawasan dan wacana social, politik, dan kebangsaan  di seluruh  Tanah Air.

Ketika mengikuti sekolah guru di Makassar inilah, ia mulai menemukan kehidupan social yang lain dan jauh berbeda dari kehidupan social yang ada di tanah kelahirannya yang sepi. Makassar waktu itu telah menjadi sebuah kota yang memiliki posisi penting karena menjadi kota pelabuhan di kawasan Timur Indonesia. Ramai disinggahi oleh kapal-kapal besar dan perahu-perahu dari berbagai penjuru baik dari dalam Indonesia maupun pedagang dari luar Negara Indonesia. Dengan tujuan membawa dan menawarkan barang dan dagangannya untuk menutupi kebutuhan masyarakat Makassar dan sekitarnya waktu itu.

Ketika kembali ke Wajo, Ambo Dalle semakin matang secara intelektual, dengan membawa cita-cita untuk mencerdaskan Bangsa, khusus di tanah kelahirannya. Setibanya di Wajo, ia masih terus berbenah diri dengan ilmu pengetahuan Agama, iapun belajar kepada ulama-ulama asal Wajo yang merupakan Alumni Mekkah, seperti KH. Syamsuddin, KH. Muhammad As’ad dan Sayyid Ali Al-Ahdal. Masing-masing gurunya inilah bermaksud membuka pengajian dan pesantren di Kampung halaman mereka. Selain pendalaman agama secara spiritual (ritual agama) yang menjadi gairah hidupnya sehari-hari, kegiatan olahraga pun tidak ia abaikan. Karena olahraga yang paling ia gemari adalah sepak bola sehingga pada waktu ia digelari sebagai “Si Rusa” karena keahliannya memainkan bola, dan menggiringnya bak Pele sang legendaries bola dunia.

Merintis Pesantren

Salah seorang guru Ambo Dalle, yakni Anregurutta Puang Haji Sade, suatu ketika menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Ambo Dalle. Ternyata Ambo Dalle yang paling fasih menjawab pertanyaan yang dilontarkan Anregurutta As’ad tersebut. Sehingga berangkat dari sini kemudia ia diangkat menjadi asisten dan mulai meniti karir mengajar serta secara intens menekuni dunia pendidikan dan membuatnya peduli terhadap dunia pendidikan. Menurutnya bahwa hanya pendidikanlah yang mampu membuat manusia bertanggung jawab atas hidup dan kehidupannya, tanpa pendidikan manusia takkan tahu apa sebenarnya hidup dan kehidupan.

Berkat kerjasama antara guru dan muridnya inilah, pesantren tersebut bertambah maju. Selang beberapa waktu kemudian berita ini sampai ke telinga Raja Wajo (Arung Matoa Wajo) yang membuatnya bergegas melakukan kunjungan dan peninjauan langsung ke tempat pengajian yang dibina Anregurutta As’ad bersama muridnya Ambo Dalle. Dalam kunjungannya tersebut Arung Matoa Wajo meminta agar Anregurutta As’ad membuka sebuah Madrasah yang seluruh biayanya di tanggung Pemerintah setempat. Gayung pun bersambut, maka tak lama kemudian, dimulailah pembangunan Madrasah.

Madrasah yang dibangun tersebut menyelenggarakan jenjang pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SMP), lembaga pendidikan ini diberi nama “Al-Madrasah Al-Arabiyah Al-Islamiyah (disingkat MAI) sengkang. Lambangnya diciptakan oleh Ambo Dalle dengan persetujuan Anregurutta As’ad dan beberapa ulama lainnya. Dalam waktu singkat popularitas MAI sengkang dengan system pendidikan Modern (Madrasah/Sekolah) menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah.

Selanjutnya atas izin sang guru, Ambo Dalle pindah dan mendirikan MAI di Mangkoso pada 29 Syawal 1356 H. bertepatan dengan 21 Desember 1938 M. sejak itulah ia mendapat kehormatan penuh dari masyarakat  dengan gelar  Gurutta Ambo Dalle. MAI Mangkoso ini kelak menjadi cikal bakal kelahiran organisasi pendidikan keagamaan bernama Darud Da’wah wal Irsyad (DDI).

Selang beberapa tahun kemudian, setelah Anregurutta As’ad meninggal dunia MAI Sengkang diubah namanya menjadi Madrasah As’adiyah. Perubahan nama tersebut sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa Anregurutta As’ad selama membina dan menyebarkan Islam di Pelosok Sulawesi Selatan terkhusus di tanah Wajo.

Zaman Pendudukan Jepang

Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku imperialis di bumi Sulawesi Selatan. Proses belajar mengajar mulai menghadapi banyak tantangan dan kesulitan karena pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di Madrasah.
Untuk mengatasi masalah ini, Anregurutta Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Ia pun mengambil inisiatif pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas dipindahkan ke mesjid dan rumah-rumah para guru.

Kaca bagian pintu dan jendela mesjid dicat hitam agar malam hari cahaya lampu tidak tampak jelas ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan mengambil tempat dimana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota kelompok sewaktu-waktu, pada malam hari dilarang menggunakan lampu.

Bukannya sepi peminat, justru siasat yang dilakukan Anregurutta Ambo Dalle ini mengundang masyarakat sekitar untuk mendaftarkan anak-anak mereka belajar di madrasah yang dirilis Anregurrutta tersebut. Bahkan, cara yang yang ditempuhnya ini membuat madrasah tersebut luput dari pengawasan Jepang. (Berbagai Sumber ed:sya)

Membangun Benteng Tauhid

Setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, Anregurutta Ambo Dalle dihadapkan pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Gema perjuangan bergelora diseluruh pelosok tanah Air.

Melihat kondisi ini, Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi system pendidikan yang nyaris terbengkalai. Ia sadar, selain bertempur melawan penjajah dengan senjata, ia juga harus berperang melawan kebodohan ditengah-tengah masyarakat. Sebab, kebodohanlah sebagai salah satu yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dalam kolonialisme selama berabad-abad.

Namun, usaha yang dirintis Ambo Dalle ini sempat mengalami kendala ketika terjadi peristiwa Korban Empat Puluh Ribu (40 ribu) jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara sekutu NICA dibawah komando Kapten Westerling mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat Sulawesi Selatan. Yang dituduh sebagai Ekstremis.

Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso. Banyak santri yang diutus oleh Anregurutta Ambo Dalle untuk mengajar di cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban keganasan Kapten Westerling. Namun hal itu tidak membuat Ambo Dalle patah semangat untuk mengembangkan MAI Mangkoso yang juga merupakan bagian dari MAI Sengkang (AS’ADIYAH).

Bahkan, dalam situasi seperti itu, bersama beberapa ulama alumni MAI Sengkang, ia mengadakan pertemuan (Kongres Alim Ulama) se-Sulawesi Selatan di Watang Soppeng pada 16 Rabiul Awal 1366 H/7 Februari 1947 M. pertemuan itu menghasilkan beberapa kesepakatan, salah satu diantaranya adalah kesepakatan membentuk Organisasi yang diberi nama Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI) yang bergerak dalam bidang Pendidikan, Da’wah, dan Sosial kemasyarakatan. Ambo Dalle sebagai Ketua Umum dan Anregurutta HM. Abduh Pabbaja sebagai Sekretaris Umum.

Meski Anregurutta Ambo Dalle sibuk dengan Organisasi dan Madrasah yang ia bina, ia juga tidak melalaikan kewajibannya sebagai warga Negara yang taat. Ia bersama KH. Fakih Usman dari departemen Agama (Kementerian Agama) pusat dipercayakan oleh pemerintah RI untuk membenahi dan membantu pembentikan Departemen Agama Sulawesi Selatan. Tugas itu dapat ia selesaikan dengan baik. Kepala Departemen Agama yang pertama diangkat di Sulawesi Selatan adalah KH. Syukri Gazali, sedangkan Ambo Dalle diangkat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Pare-Pare pada tahun 1954 M.

Meenurut Prof. KH. Ali Yafie, salah seorang santri Ambo Dalle, apa yang telah dilakukan oleh gurunya itu selama berpuluh-puluh tahun di bumi Bugis pada khususnya dan Sulawesi Selatan pada umumnya adalah sebuah gerakan pembaharuan untuk memperkuat Tauhid. Dengan kata lain bahwa apa yang selama ini ia cita-citakan dalam mendirikan sebuah organisasi pendidikan, da’wah dan social kemasyarakatan tersebut sesungguhnya adalah bagian dari jihad, ijtihad dan mujahadah untuk membangun dan memperkuat “Budaya Tauhid” itu kemudian terbukti dalam sebuah karyanya yang berjudul “AlQaulul Shodiq”.

Keteguhan sikap Ambo Dalle tak lekang disetiap peristiwa dan pergolakan yang ia lalui dalam perjalan hidupnya. Ketika terjadi pemberontakan G.30 S/PKI, Ambo Dalle yang ketika itu berdomisili di Pare-Pare tak bergeming  dan tetap kukuh dengan prinsip dan keyakinannya. Pada waktu itu, dia berpesan kepada santrinya agar tetap berpegang teguh pada akidah Islam yang benar. Jangan terpengaruh dengan gejolak yang terjadi dalam masyarakat maupun dengan pengaruh-pengaruh imperailisme.

Karya-Karya

Sebagai seorang ulama. Ambo Dalle banyak mengupas berbagai persoalan yang menyangkut hamper semua cabang ilmu agama dalam karya-karya tulisnya. Diantaranya adalah tasawuf, Akidah, Syariah, Akhlak, Balaghah, dan Ilmu Mantik. Semua itu tercermin lewat karya-karya tulisnya yang berjumlah 25 judul buku.

Salah satu karya yang sangat monumental dan banyak peminatnya adalah “Al-Qaulu As-Shodiq fil Ma’rifati Al-Khalaqi” yang memaparkan perkataan yang benar dalam mengenali Allah Swt. Dan tata cara pengabdian terhadap-Nya. Menurutnya manusia hanya dapat mengenal hakikat pengabdian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat tentang dirinya.

Untuk mengangungkan Allah, tiidak hanya berbekal akal logika, tapi juga harus melalui zikir yang benar sebagai perantara guna mencapai makrifat kepada Allah Swt. Meskipun, harus diakui bahwa logika harus dipergunakan untuk merenungi Alam semesta sebagai ciptaan Allah Swt. Dalam berzikir, harus dilakukan sesuai dengan dalil Naqli (Al-Qur’an dan Sunnah). Dilakukan dengan penuh kerendahan hati, istiqomah, dan tidak mudah goyah.

Pendirian dan sikap akidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyyah yang terdiri atas tiga Jilid keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah diyakini kebenarannya tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlu as-Sunnah wal-Jama’ah.

Yang membahas bahawa Arab dan Ushul-ushul-nya tertulis dalam kitab Tanwirul Thalib, Tanwirut Thullab, dan Irsyadut Thullab. Ilmu balaghah (Sastra dan Paramasastra) di bahas dalam karyanya yang berjudul Ahsanul uslub wa siyaqah, Namuzasul Insya’I yang menerangkan kosakata dan cara penyusunan kalimat bahasa Arab. Kitab Sullamul Lughah menerangkan kosakata, percakapan, dan bacaan.

Beliau juga mengarang pedoman berdiskusi dalam bahasa Arab, yakni Kitab Miftahul Al-Muzakarah dan tentang Ilmu Mantik (logika) dalam Kitab Miftahul Fuhum fi al-Mi’yarif ulum. (dir)

Lahir                       : Desa UjungE, Tanasitolo, Wajo  1900 M
Wafat                      :  Makassar, 29 November 1996
  • Karir                       :  
    • Pendiri Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso 1939
    • Pendiri Darul Da’wah wal Irsyad (DDI) Februari 1947
    • Menteri Bidang Tarbiyah Islamiyah DI/TII 1950-an
    • Pendiri Universitas Islam DDI Pare-Pare 1968
    • Pendiri Ponpes Manahilil Ulum DDI Kaballangang, Pinrang 1977
  • Pendidikan :     
    • Volks School (SR Sengkang)
    • Holland Inlandsche School di Makassar
    • Sekolah Guru Partai Serikat Islam, Makassar
    • Darul Ulum Hasan Al-Mahdaliy, Wajo
    • Madrasah Arabiyah Islamiyah Sengkang, Wajo yang didirikan Allamah As’ad.
Sumber :
  • MAJALAH AL-MARHAMAH (Depag Sulsel) ( Edisi : No. 151 Th. XII Februari 2010, hal. 37 s.d. 39 )
  • Selesai diketik ulang oleh MUH NURDIN ZAINAL Pada Hari/Tgl : Senin, 08 Maret 2010 Pukul 16.30 di Koperasi Callaccu Jl. H. A. Ninnong No. 8 Sengkang.

0 comments:

Post a Comment