Percika bunga api yang menyembur memecah gelap malam. Dari kejauhan, suara
pertarungan antara palu dan besi yang telah melebur dalam panasnya arang
memecah kesunyian malam. Cahaya dan bunyi ini acap kali terdengar setiap malam
pertama dan kelima dalam hitungan minggu. Tapi entah kenapa, semusim ini cahaya
dan suara itu terus saja terlihat dan terdengar dari belakang rumahku di
seberang bukit di dalam Gua Pattimorang.
Gua itu disebut Pattimorang
oleh penduduk setempat karena tanah disekelilingnya begitu tandus sehingga
rerumputan tidak satupun yang tumbuh. Hanya satu batang pohong beringin yang
tumbuh pas didepan mulut Gua yang begitu besar, tinggi dan akar-akarnya bergelantungan.
Menurut kakekku, Pohon itu sudah tumbuh lama sebelum kampungku. konon, setiap
pasukan Arajang yang akan pergi berperang yang tidak memiliki senjata akan
datang ke mulut Gua bersemedi dan berpuasa selama empat puluh hari, jika
beruntung mereka akan membawa pulang senjata yang mereka kehendaki sehingga
selain di sebut Gua Pattimotang tempat itu juga disebut dengan Gua Bessi
mallajang.
Kabar dari kampung seberang
sontak membuat panik Kakek, Kabar akan adanya selisih paham antara Antara
keluarga La Tenri beta dengan Karaeng Lompo Golo akan membawa
petaka dalam kampung kami. Kampung yang aku tinggali ini merupakan tanah
perbatasan antara kedua keluarga yang berkuasa. Kampung ini tepat berada di
atas bukit yang menjadi tempat yang strategis untuk menghalau lawan karena di
kedua sisi terdapat jurang yang dalam dan hutan Sobbu, hutan yang sangat luas
dan ditumbuhi pohon-pohon rimbung dan
dihuni banyak ular dan binatang buas. sudah banyak orang-orang yang masuk ke
hutan mencari kayu untuk membangun rumah atau kayu bakar hilang begitu saja
sehingga tidak sekalipun dari penduduk kampung berani masuk.
Pertikaian kedua keluarga
besar ini dipicu hanya masalah sepele, Ayam La Pongrong anak La Tenri Beta
kalah dalam sabung ayam oleh anak Karaeng Polo Bangkeng anak Karaeng Lompo
Golo. Karena Ayamnya kalah dan tidak terima, La Pongrong marah dan bermaksud
menikam Ayam Karaeng Polo Bangkeng, sebelum menikam Ayam Karaeng Polo Bangkeng,
La Pongrong ditikam oleh Karaeng Polo Bangkeng. sehingga La Tenri Beta sangat marah
dan mengumpulkan sanak keluarganya untuk menuntuk balas kematian anaknya yang
tewas tertikam seperti ayamnya. Kabar ini lah yang membuat panik Kakek,
Pertikaian ini akan menjadi semakin besar dan melahirkan banyak korban yang
mungkin akan menimpa Kampung ini, kampung kelahiranku.
Kabar yang datang ini
menjadi bungan tidurku yang acap kali membuatku bermimpi dan terbangun tengah
malam. dalam mimpiku, Cahaya merah terang menghiasi kampungku, teriakan tangis
bergema di mana-mana, darah berjatuhan dari langit layaknya hujan lebat
ditengah malam, dan Perempuan-perempuan berlari tanpa pakaian dengan bola mata
pecah dan luka sayatan disana sini menghiasi sekujur tubuhnya.
Mimpi yang datang acap kali
itu aku ceritakan kepada Kakek. kakek sontak terkejut diam dengan wajah datar
dan pucat.
" Maragaki, Macole moa
pappaneddita Puang ?".
"Enna Nak,
Katulu-tulumu ritu pada lebba katulu-tulukku, Ula Loppo mallomo makkalukiki
kampponge, Inddomu, Anrrimu Becce, na Sappomu kuwita ri tingroku lari
mappelang-pelang enna matanna na cera mitti-mitti messu
manccaji wae matanna, Mata essoe mangcaji macella". Kata Kakek dengan nada
pelan dan air mata menetes membasahi kulit pipinya yang berkeriput.
"jadi ku
pakkituni Puang, elona Ia maraga, Ambbeku mallajang ni lao Ri Dewata SeuwaE,
ennani barumppungnna Kamppong Ri Ngaliki e ri La Tenri Beta na Karaeng Lompo
Golo, pada leluasani mattama ri Kampponge malluja".
"Ku pakkitu Nak, pada
paggasuani Sapponu nannia silong-silongmmu huranewe baja ri Bolae, na ri
caritaki maraga colenna". Kata kakek dengan nada rendah dan wajah yang
sama, wajah dengan pucat dan air mata.
Keesokan harinya, saat
mentari tepat diatas kepala, Karaeng Lompo Gola dengan menunggangi kuda hitam
bersama puluhan laki-laki dengan Badik dan Sapukala terselip di pinggangnya
datang kerumah dan mencari Nenekku.
"Tegaki Puang Sattu
Allang ?". Kata Karaeng Lompo Golo dari atas kuda Hitamnya.
"Iye engka moi ri
laleng ri Bolae Karaeng, mattamaki iye ri laleng bolae".
Dengan destar merah tegak
berdiri, karaeng Lompo Gola turun dari kuda hitamnya dan naik kerumahku,
Langkah kakinya menapaki satu persatu anak tangga rumahku, Ia naik Kerumahku
bersama empat laki-laki lainya dengan destar merah tegak berdiri dan Sapukala menghiasi
pinggang mereka. Wajah mereka tidak sama sekali rama, dengan wajah yang muram
dan rambut panjang terurai turun sampai ke bahunya. mereka kemudian duduk
bersilah sambil menggulung tembakau yang mereka ambil dari lipatan sarungnya.
"Puang Sattu Alang,
Iya lao kewe ri bolamu mappalettu ada". Kata Kareng Lompoa dengan nada
tegas.
"Iye aga arodo Kareng
adatta". Balas kakek dengan nada pelan.
"Ri pitungesso, Idi
sibawa Sajitta marana nannia Iya maneng tauwwe ri kamppongnge kwede pada
nasalaiki bolana, lecceki mabela-bela. nannia ritu taroangnga anak burane
malessie nannia bata na berremu ri bolae kwede, nasaba areddi Kampponge
kungakuiki punnaku nannia sajikku, punna teaki lecce, tania carita melampe
Puang Sattu, Idi sibawa tauwwe makkita anu makalallaing". Ucap Karaeng
Lompo gola dengan nada tegas, berdiri, dan beranjak turun dari rumahku bersama
keempat laki-laki lainya. Setelah itu mereka kemudian pergi begitu saja dan
menghilang di ujung jalan.
Kata-kata Karaeng Lompo
Golo bagai petir yang menyambar kepalaku, pecah dan berceceran ditanah. Ucapan
uang mengharuskan dan tidak boleh tidak untuk pergi meninggalkan Rumah,
Kampung, Makanan kami ini dan jika kami menolak maka sesuatu hal yang tidak terbayangkan
akan menimpa kami dan seluruh penduduk Kampung.
Malam pun tiba, Rumahku
penuh sesak dengan kedatangan penduduk Kampung yang lain,Tetua dan pemuda
Kampung ada di dalam rumah duduk bersilah membicarakan tindakan apa yang akan
kami tempuh, dan di bawah rumah perempuan dan anak-anak menunggu keputusan apa
yang akan kami ambil, keputusan yang akan menentukan nasib kami, nasib
anak-anak, pera Ibu, dan pemuda Kampung. Pembicaraan malam itu menghasilakan
tiga keputusan. pertama, pergi meninggalkan desa, menyimpan sebagian makanan
dan Laki-laki yang sehat kuat untuk membantu Karaeng Lompo Golo melawan
keluarga La Tenri Beta. Kedua, mengutus utusan ke Keluarga La Tenri Beta untuk
membantu kami melawan Karaeng Lompo Golo. dan Ketiga adalah pilihan terakhir dimana
kami akan melawan siapapun yang masuk ke Kampung kami. dari ketiga keputusan
itu membawa pembicaraan yang alot dan panjang. Kami tidak boleh pergi
meninggalkan Kampung, makanan, dan Laki-laki. maka pada malam itu keputusan
yang kami sepakati adalah keputusan kedua dan ketiga, Kami harus segera
mengirimkan utusan untuk berbicara dengan Keluarga La Tenri Beta.
Aku adalah pemuda cucu dari
orang yang dituakan di Kampung, Ambbeku adalah seorang To Barani yang gugur
dalam perang membela Mangkasue Ri Bone. Hampir setiap pemuda yang ada di
Kampungku memiliki badik dan parang warisan dari ayah mereka, hanya saya yang
tidak mendapat warisan dari Ambbekku.
Masalah ini sontak menjadi
sebuah kekurangan dalam kedewasaanku, aku adalah seorang pemuda dari To Barani
pasukan Mangkasau dan cucu dari orang yang sangat dihormati, sedangkan warisan
seperti Badik dan senjata lainnya tidak saya miliki. Hal ini merupakan sebuah
kekurangan bagi laki-laki dalam adat keluarga dan suku aku. bagi seorang
laki-laki Bugis yang beranjak dewasa, adalah sebuah keharusan untuk
mengcukupkan tulang rusuk mereka yang dipinjamkan kepada perempuan yang kelak
mendampinginya. sebelum menemukan perempuan itu, Laki-laki itu harus
menggantinya dengan Badik yang diselipkan di pinggangnya, selain sebagai simbol
kelaki-lakian, Badik ini juga merupakan simbol bahwa si pembawa badik siap
menjaga dan mempertaruhkan Siri dan keluarga mereka dari segala macam gangguan,
sehingga Laki-laki yang menyelipkan Badik di pinggangnya berarti adalah seorang
Laki-laki yang memiliki martabat dan kedewasaan yang tinggi.
Cerita dari kecil tentang
adanya Gua Pattimorang, tempat para pasukan To Barani Arrajang mendapatkan
pusaka mereka membangunkanku. Ternyata malam ini adalah malam Jumat dengan
Rembulan yang bersinar cerah, malam yang tepat untuk mendapatkan pusaka untuk
saya sendiri. Tanpa pikir panjang, hanya dengan baju dan sarung saya kemudian
berjalan menuju Gua Pattimorang di bawah sinar rembulan, di balik rerimbung
hutan dekat jalan setapak menuju Gua terdengar banyak suara tawa dan teriakan
yang samar, kadang suara tawa itu berubah menjadi suara rintihan, bulu-bulu
halus di tangan dan kakiku serasa begitu tebal, punggungku begitu berat dan
panas, segala mantera yang di ajarkan Kakek keluar silih berganti, kakiku terus
melangkah, dalam otakku yang terpikirkan adalah datang ke Gua Pattimorang dan
pulang membawa apa yang aku inginkan.
Keringat bercucuran di
wajahku, napasku terengah-engah, kakiku terasa sakit tertusuk ranting dan
rumput yang aku lalui, Mulut Gua dengan Akar-akar pohon beringin bergelantungan
nampak begitu jelas disinari cahaya rembulan. dalam Gua terlihat begitu gelap
dan sesekali terasa hembusan angin keluar dari mulut Gua, di bawah Pohon
beringin terdapat batu yang dukup besar dan datar dengan sisa sesaji, selain
itu berbagai jenis bunyi terus saja silih berganti datang dan pergi, suara tawa
dan tiba-tiba berganti dengan suara tangisan dan rintihan. dengan mengumpulkan
sisa keberanianku setelah perjalanan tadi, aku mencoba memanjat naik ke batu
dan duduk bersila sambil memejamkan mata. rasa panas dan keringat yang
membasahi tubuhku tiba-tiba hilang bergantikan
dingin yang begitu menusuk tulang, aku terus mencoba menahan dingin yang
menyerang kulit-kulitku yang serasa jutaan semut menikamkan taringnya dan
menembus sampai ke tulang. aku terus berusaha menahan rasa dingin. Tiba-tiba
seluruh bunyi menghilang, rasa dingin menjadi hangat, kuberanikan membuka mata,
yang ada hanya kekosongan ruang gelap yang dengan keheningan yang maha hening yang
semakin membuatku mengantuk dan tidak tertidur.
Saat terbagun, muncul
didepanku sebilah badik dengan urat yang berkilau disinari cahaya mentari.
tanpa aku sadari, ternyata aku telah tertidur di bawah pohon Beringin itu
sampai mentari bersinar cukup terik dan panas. Akhirnya, usaha dan keberanianku
yang aku kumpulkan membuahkan hasil, tenyata cerita tentang Gua Bessi Mallajang
benar-benar nyata, aku pulang dengan membawa sebilah Badik, akhirnya aku
menajadi lelaki yang utuh.
Keesokan harinya, saat
cahaya mentari muncul di selah-selah Gunung Lompo Battang. Saya, Kakek, dan dua
pemuda lainnya pergi ke ke Kampung seberang, kampung keluarga La Tenri Beta
untuk membicarakan masalah yang menimpa kami sekaligus meminta bantuan.
Perjalanan kami tempu sehari dengan menunggangi kuda dan sampai saat sore hari.
"Tabe Puangkku
mallompoe La Tenri Beta, Ri Addampengangnka, Ia lao mai ri olota millau pammase
Ri Puangkku malompoe. Nasaba idimi nasibawa Karaeng Puangku Dewara SeuwaE mulle
mperengka pammase nasaba Karaeng Lompo Golo pole ri kamppongkku elo
mappinasa". Ucap kakek dengan wajah menghadap lantai papan dan suara
pelan.
"Puang Sattu Alang,
Enna gaga mulle kupirengki, nasaba iya parellu to, baja ribajae iya mito lebbi
riolo lao ri kamppongmu mongro mattaro to barani nannia engka wettu macole
nooriki kamppongnna Lompo Golo. Jadi seddimi ku arengnggi akessingeng. pada
leccemiki lao mabela laiki kamppongmu, Hurane malessie, nannia tarowi
aga-agammu iyanaritu berre, bata, nannia olo kolummo, Iya mi ro Puang Sattu
Alang". Ucap La Tenri beta dengan nada tegas dan tidak dapat lagi
ditawar-tawar.
Kami pulang malam itu juga,
Keputusan La Tenri Beta sama halnya dengan keputusan Karaeng Lompo Golo.
Keputusan itu membuat kakek tak berbicara sepatah kata pun diatas kuda dalam
perjalanan kami pulang ke kampung.
Kami sampai di Kampung sama
dengan waktu kepergian kami, kami sampai saat cahaya mentari muncul disela-sela
Gunung Lompo Battang. Kakek langsung turun dari kuda.
"Nak, paggasua
manenggi huranewe ri Bolae". Ucap kakek dengan tegas.
Tanpa pertanyaan, Aku dan
kedua pemuda yang kutemani langsung pergi kerumah-rumah penduduk kampung dan
memberitahukan mereka agar segera berkumpul di rumah kakek. Saat mentari semakin
panas, seluruh penduduk kampung pun berkumpul di rumahku.
"Enna gagana
pappileang, seddimi bahang, Ri patettongi sirita nannia mehaki lettu tubutta
kasarae reddi massedi ritanae". Ucap kakek dengan tegas dan menghunuskan
Badik yang Ia selipkan disarungnya. Para laki-laki pun membalasnya dengan
ucapan yang sama.
Malam harinya, penduduk
kampung telah datang dengan hal yang sama, badik terselip dipinggangnya untuk
membicarakan rencana mempertahankan kampung. Pembahasan malam itu sangat lama
hingga ayam berkokok. Kami akan melawan secara gerilya dengan menghadang mereka
di tebing batu, saat mereka lewat kami akan mejatuhkan batu dari atas tebing
dan menyerang langsung siapa saja yang selamat. itulah rencana yang akan kami
lakukan untuk mempartahankan Kampung kami dan Siri kami.
*** BERSAMBUNG ***
Katangka, 13 Dhul Qa'dah
1436 H / 28 Agustus 2015
Oleh : Zulengka Tangallilia
0 comments:
Post a Comment