Aku panggil Ia Inari, wanita yang datang pada suatu senja dari musim semi
membawa setangkai bunga yang telah lama terlelap dalam dekapan dingin musim
dingin. Ia datang dengan mata sayup dan bibir merah tipis. Pertemuanku
dengannya terjadi empat musim semi yang lalu dengan seledang putih menari
ditubuhnya digoda angin.
Aku adalah lelaki yang terlahir dengan sepi dan air mata. Tepat tangisan
pertama, Ibuku mati karena dingin yang menusuk tubuhnya di sebuah gubuk
ditengah hutan tepat pohon-pohon sakura menjatuhkan bunganya. Tangisan itulah
yang membuat ayahku seorang pencari kayu bakar menemukanku dan menjadikan
putranya, ayahku tinggal sendiri ditemani seekor anjing di pinggiran desa kaki
Gunung Fuji dan beberapa musim lalu maninggal dunia.
Kehidupanku yang miskin membuat Gadis desa menjauh dariku, hari-hari aku
lalu dengan bekerja mencari kayu bakar dan menukarnya dengan sekepal beras.
Saat-saat Es mulai meleleh kumulai hariku masuk hutan mencari kayu bakar dan
pada suatu saat ditengah hutan aku menemukan lapangan luas dengan satu batang
pohon sakura dengan bunga yang kuncup. tiba-tiba aku dikejutkan dengan wanita
yang datang membawa setangkai bunga dengan mata sayup dan bibir merah tipis
dengan luka ditubuhnya dan terjatuh didepanku. Aku membawa pulang dan merawat
lukanya, tepat sore hati ketiga Ia akhirnya terbangun dari tidurnya, Mulanya Ia
diam tanpa kata dan hanya terus saja memandangiku depan perapian, tiba-tba ia
bercerita jika keluarganya mati karena perampok yang menyerang desanya dan
tidak memiliki tempat untuk pergi. Kami melalui hari-hari bersama, dan akhirnya
menikah dan dikaruniai dua orang anak, laki-laki dan perempuan.
Pada suatu saat, anjingku melahirkan dan tiap melihat istriku selalu saja
menggonggong dan ingin menerkam.
"Suamiku, sebaiknya kamu buang saja anjing itu".
"Sayang, Aku tak mungkin membuang anjing itu, Ia adalah anjing yang
selalu menjaga ayahku dulu begitupun aku".
"Baiklah, jikalau itu maumu, biarlah anjing itu tetap tinggal bersama
kita".
Tiba-tiba, Anjing itu melompati istriku dan ingin menerkam, Istriku takut
dan melompat menjadi Rubah dan terbang masuk hutan. Tubuhku tak mampu aku
gerakkan, mulutku tak mampu berkata apa-apa, kejadian itu bagai tebasan Katana
seorang samurai tepat pada leher lawannya. Hari demi hari aku lalui tanpanya,
Musim semi hampir berakhir dan Ia tidak pernah kembali, kedua anakku selalu
saja mencari ibunya yang selalu bernyayi tiap kali ingin tidur.
Pada suatu senja, Aku kembali kelapangan tempat tumbuh sebatang pohon
Sakura, tempatku pertama kali bertemu dengannya.
"Wahai istriku, meski engkau adalah Seekor Rubah, engkau tetap Istri
dan Ibu dari kedua anakku. Kembalilah. aku mencintaimu dan selalu
menunggumu".
*** BERSAMBUNG ***
Oleh : Zulengka Tangallilia
Karena Janji, Aku menjadikan malam ini sahabat dan menulis untukmu.
Diadaptasi dari Cerita Jepan "KITSUNE"
Pukul 02:39 AM
Makassar, 10 Oktober 2015
0 comments:
Post a Comment