Kretek yang mengepul keluar dari mulutnya, dihisapnya dalam-dalam sembari
menyeduh kopi menantang malam. Angin berhembus pelan dan pohon-pohon mematung
menepis cahaya rembulan yang bersinar terang malam itu.
Penjagaan yang ketat malam itu dilakukan karena salah satu pelaku zinah
yang telah ditangkap sore tadi akan di rajam pas diperempatan jalan dibawah
pohon asam. Rencananya mereka akan segera dikubur di bawah pohon itu dengan
tubuh dikuburkan dan hanya kepala yang menghadap langit sembari dilempari batu oleh para pejalan kaki
yang akan kepasar. Yah begitulah hukuman bagi mereka yang telah berbuat zinah,
selain itu bagi mereka yang mencuri akan ditangkap dan diseret ke pohon asam
itu dan tangan mereka akan dipotong, sekali terbukti mencuri maka jari-jari
tangannya akan dipotong, jika kedua kali maka lengan tangannya yang akan
dopotong, jika mengulagi lagi maka Ia harus merelakan kepalannya terpisah dari
tubuhnya dan ditingkkalkan begitu saja membusuk begitu saja atau dimakan anjing
hutan dibawah pohon itu. jika beruntung, maka tubunnya akan di maqamkan.
Pelaku Zinah yang telah ditangkap sore itu hanya terus tertunduk menatap
dinding dari pelepah pohon sagu, menunggu nasib mereka yang berakhir menungguh
kepala mereka menjadi sasaran lemparan batu sampai napas terakhir berhembus
meninggalkan jasadnya. Hami yang malam itu bertugas menjaga mereka, lepas
tengah malam maka Kari yang akan menggantikannya. Sesuai perintah Komandan
Hasanuddin, mereka akan di Rajam besok pagi tepat matahari muncul disela-sela
Gunung Bawakaraeng. Semua persiapan telah dilakuakan, mulai dari lubang tempat
mereka akan dikubur dan batu-batu yang akan menjadi penjemput maut mereka.
"Hami, saatnya saya yang berja". Ucap Kari yang telah datang dengan
segepal nasi ditangannya.
"Kari, kau mau apakan nasi itu?". ucap Hami.
"Akan saya berikan kepada dia !". ucap Kari Sembari menunjuk
kepada perempuan itu.
"Untuk apa lagi, mereka akan segera mati besok pagi !". Ucap hami
dan kemudian pergi tidur bersama laskar-laskar lainnya yang lelah berjalan jauh
mengamankan Desa dari para tentara.
dengan Nasi yang ada ditangannya, Kari menghampiri Perempaun itu dan
memberikannya.
"Kau pantas mendapatkan ini, makanlah". Ucap kari sembari menaruh
nasih ditempurung kelapa yang ada didekat Perempuan itu, tempurung kelapa
tempat Makan tahanan minggu lalu yang telah mati karena mencuri berulang kali.
Kari kemudian membuka sarung yang diselempangnya dan mengambil Tembakau dan
ia gulung sambil menatap rembulan yang bersinar terang dari sela-sela pohon,
seiring hilangnya rembulan dilangit, entah berapa gulung tembakau yang Ia hisap
malam itu, Ia terus memandangi Perempuan itu, perempuan yang ditinggal suaminya
melaut sejak dua tahun lalu itu telah Hamil besar, Ia diketahui telah berzinah
karena perutnya yang semakin membesar dan suaminya pergi melaut. Setelah
ditangkap sore itu, Ia dipaksa menyebut bapak dari calon bayi itu, dan Ia
menyebut sepupunya Hasan. Sore itu pula Hasan dijemput di Rumahnya, bersama
mereka diarak keliling kampung dan kemudian disimpang di tempat itu.
"Saya sebenarnya tidak sanggup melakukan ini, tapi ini adalah
perintah". Ucap Kari dengan gepulan asap keluar dari lubang hidungnya.
Perempuan itu hanya tetap menatap dinding dari pelepah sagu itu, dengan
pandangan kosong dan air mata terus mengalir dimatanya.
"Janganlah kau menangis, Sebentar subuh, saat semua teman-temanku
sembahyang subuh, saya akan melepaskan kau, tapi dia tidak !". Tunjuk Kari
kepada Hasan, laki-laki yang telah diikat di rumah seberang.
Perempuan itu kemudian berpaling dan menatap hasang dari sela-sela dinding
pelepah sagu, dengan mata yang penuh air mata, ia menatap Kari dengan diam.
Ayam berkokok membangunkan para laskar itu dan segera mereka pergi untuk
membasu muka dan Wudhu untuk sembahyang subuh.
"Inilah saatnya, Kamu segera pergi, tapi Ingat !. Jika kau tertangkap
maka saya yang akan dulu memotong lehermu". Ucapnya dengan suara pelang.
Sontak, Perempuan itu berlari meninggalkan tempatnya di tahan, dan kemudian
menghilang dibalik gelap malam.
Kari pun lekas membasu muka dan Berwudhu, Ia kemudia shalat subuh bersama
teman-temannya.
"Kari, dimana kau ?". Teriak Hami.
"Saya disini, saya baru saja sembahyang Subuh, kenapa ?". Jawab
kari.
"Perempuan itu melarikan diri !". Jawab Hami.
"Tunggu apa lagi, kita cari". Jawab Kari.
Mereka kemudian bersiap untuk mencari, mereka terbagi emapat penjuru mata
angin, Hami dan kari ka timur mengarah laut sedangakan yang lain mengarah ke
arah yang lain, mentari mulai tampak membias dari Gunung Bawakaraeng. langkah
kaki mereka semakin cepat, berdoa menyusul Perempuan itu. Tiba-tiba Hami
melihat bekas seseorang yang telah melewati semak-semak.
"Dia pasti lewat sini". Ucap Hami
Mereka kemudian melepaskan tembakan kearah semak-semak hutan, letusan dan
bauh bubuk mesiuh mengisi pagi itu, setelah menembakkan peluru sepuluh kali,
mereka kemudian melanjutkan pencarian. Pencarian mereka sampai di bibir tebing,
mereka melihat ceceran darah di ilalang dan daun-daun. Mereka yakin, peluru
mereka telah menemui sasarannya. Pencaharian mereka berlanjut, mereka mengikuti
darah yang ada di daun-daun dan semak belukar. Kari dengan perasaan taku
berjalan didepan, Ia berencana menebas perempuan itu jika menemukannya, karena
Ia akan mendapatkan hukuman yang berat jika teman-temannya mengetahui jika Ia
telah melepaskan tawanan yang Ia jaga. Langkah Kari semakin cepat melawati
hutan mengikuti jejak darah di daun-daun.
Letusan senjata terdengar, Hami yang telah menemukannya.
"Ketemu". Teriak Hami.
Kari kemudian berlari menuju suara, teriakan Hami. sesampai di sumber
suara, Kari terpaku melihat perempuan yang telah Ia lepaskan dengan Bayi penuh
darah ditangannya, Perempuan itu telah melahirkan seorang puteri, yah...
Puteri, puteri dengan ari-ari yang belum terpotong.
"Serahkan anak itu !". Ucap Kari.
Perempuan itu tetap saja terdiam, terdiam lemas ditempatnya Ia memangku
anaknya tanpa sehelai pun kain menutupi tubuhnya, perempuan itu telanjang
karena sarung yang ia kenakan dipakai membungkus bayi yang Ia lahirkan.
Perempuan itu kemudian menatap bayi perempuan yang telah Ia lahirkan dan
menyerahkannya.
Hami yang menerima bayi itu, Tanpa ragu, Kari menebas leher perempuan itu
dan berkata
"Maaf... !, biarkanlah saya yang merawat puterimu".
Kari kemudian membawa bayi itu dan meninggalkan Perempuan itu bersimbah
darah tanpa kepala.
*** TAMAT ***
Bulukumba, 28 Shawwal 1436 H
Zulengka Tangallilia
0 comments:
Post a Comment