Untuk pertama kalinya sebuah dokumen pribumi mengenai Perang
Mengkasar (21 Oktober 1653 – 19 November 1667) yang ditulis oleh salah seorang
pelakunya sendiri kini tersedia dalam bahasa Indonesia. Dokumen tersebut adalah
Syair Perang Mengkasar yang ditulis oleh Enci’ Amin, jurutulis Sultan
Hasanuddin, ‘ayam jantan dari timur’. Akibat konspirasi Cornelis Speelman dan
Arung Palakka, Sultan Hasanuddin terpaksa meneken Perjanjian Bongaya
(19-11-1667) yang mengakhiri hegemoni Kerajaan Goa kawasan Indonesia bagian
timur.
Buku ini aslinya adalah disertasi Cyril Skinner di University of London yang
kemudian diterbitkan oleh Martinus Nijhoff di S’Gravenhage (Den Haag) tahun
1963, berjudul Sja’ir Perang Mengkasar (The Rhymed Chronicle of the Macassar
War). Usaha Abdul Rahman Abu (penerjemah) dan Ininnawa & KITLV Jakarta
(penerbit) untuk menghadirkan versi bahasa Indonesia buku ini, yang versi
Inggrisnya sudah cukup lama terbit, patut dihargai sehingga buku ini sekarang
dapat diakses lebih luas di Indonesia.
Skinner menemukan dua salinan naskah Syair Perang Mengkasar, keduanya berbahasa
Melayu. Naskah pertama, SOAS ms. No. 40324 (naskah S) yang ditulis dalam format
syair, merupakan bagian dari koleksi manuskrip Marsden yang diserahkan kepada
King’s College, London, pada 1835, yang kemudian dipindahkan ke Perpustakaan
School of Oriental and African Studies (SOAS) pada 1920-21. Naskah S merupakan
hasil kerja dari dua orang penyalin, tebalnya 38 lembar folio (76 halaman),
beraksara Jawi. Namun 13 bait pertama naskah ini sudah hilang. Naskah S disalin
di Sumatra, yang mungkin diperoleh Marsden di Bengkulu antara 1771 dan 1779.
Bahasa naskah S ini sangat kuat dipengaruhi oleh bahasa Minangkabau (hlm.58).
Naskah kedua (diberi kode L, ditulis tanpa ada pemisahan antar larik dan antar
bait) adalah Cod.Or. Bibl. Lugd. 1626 koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden,
yang juga ditulis dalam aksara Jawi. Naskah L hanya 6 halaman (73 bait) dari
keseluruhan Syair ini yang, berdasarkan alih aksara yang termuat dalam buku ini
(hlm.75-142), berjumlah 534 bait. Naskah L diperoleh Universiteitsbibliotheek
Leiden tahun 1848, bersama-sama dengan naskah lain yang pernah dimiliki oleh
Francois Valentijn. Naskah L ini disalin oleh Cornelia Valentijn (istri
Francois Valentijn) di Ambon sekitar 1710.
Skinner menyajikan alih aksara Syair Perang Mengkasar dengan memilih naskah S
sebagai teks landasan dan memberikan konteks historis dan analisa kesastraan
yang memungkinkan pembaca memahami isinya. Ia melakukan critical edition dan
bagian yang hilang pada awal naskah S ‘ditambal’ dengan naskah L.
Menurut Skinner teks Syair Perang Mengkasar menjadi delapan bagian (hlm.67-9).
Bait 1-28: Pendahuluan. Bagian ini berisi puji-pijian (doxology), persembahan
dan sanjungan untuk Sultan Goa, dan permohonan maaf pengarang.
Bait 29-91: Perang Dimulai. Bagian ini mengisahkan persiapan dan keberangkatan
ekspedisi VOC ke Makassar, ikrar sumpah setia orang Makassar kepada Sultan
mereka dan kebencian kepada VOC, dan pertukaran surat antara Sultan dengan VOC.
Bait 92-135: Ekspedisi VOC ke Buton. Bagian ini mengisahkan kekalahan pasukan
Makassar yang dipimpin oleh Karaéng Bonto Marannu.
Bait 136-148: Ekspedisi VOC mengunjungi Maluku. Bagian ini menceritakan
bergabungnya Sultan Ternate dengan ekspedisi VOC dan sanjungan kepada Sultan
Goa.
Bait 149-206: Pemberontakan orang Bugis. Kisah dalam bagian ini meliputi
kekalahan orang Bugis atas pasukan Sultan Tallo’ di Mampu dan Pattiro,
kembalinya para pemenang perang itu ke Makassar, dan permohonan maaf pengarang
atas kekurangannya.
Bait 207-423: Perang Mengkasar Pertama. Dalam bagian ini dikisahkan tibanya
armada VOC di Makassar yang kemudian menyerang Bantaéng, utusan Speelman
dihina, persiapan serangan oleh Makassar, aksi saling bombardir dalam
pertempuran hari pertama, berlanjutnya pengeboman, permohonan pengarang agar
dikenang, dipatahkannya upaya VOC untuk menguasai Batu-Batu, serangkan VOC ke
Galésong, berkecamuknya pertempuran sengit di Batu-Batu menyusul pendaratan
pasukan VOC di sana, jatuhnya korban di pihak Makassar, perundingan damai
disertai kepanikan, sanjungan buat Sultan Goa dan Tallo’, dan disepakatinya
perdamaian.
Bait 424-459): VOC di Ujung Pandang. Bagian ini mengisahkan mulai menetapnya
orang-orang VOC di Ujung Pandang (Makassar) dan rasa muak penduduk setempat
kepada mereka, pembelotan beberapa karaéng dari Makassar kepada VOC yang
bergabung dengan musuh dalam penyerangan ke Sanraboné, dan pengiriman bala
bantuan dari Makassar ke Sanraboné di bawah pimpinan Karaéng Jerannika.
Bait 460-513: Perang Mengkasar Kedua. Dalam bagian ini dikisahkan serangan VOC
ke Sanraboné, dibakarnya Perwakilan Dagang Inggris dan dipukul mundurnya
serangan VOC, pertempuran berlanjut, penyerbuan ke pusat pertahanan Makassar
yang masih tersisa dan dihacurkannya benteng mereka, dan mundurnya pasukan
Makassar ke Goa.
Bait 514-534: Penutup. Pengarang mengekplisitkan moral cerita (bait 514).
Selanjutnya pada bagian ini diceritakan pula perjanjian damai terakhir
(Perjanjian Bongaya) untuk mengakhiri perang ini, kesimpulan pengarang, dan
pengarang mengungkapkan identitas dirinya dan memohon maaf untuk terakhir
kalinya.
Skinner juga mencatat tanggal peristiwa-peristiwa penting yang disebutkan dalam
Syair ini. Dengan demikian, sampai batas tertentu, Syair Perang Mengkasar
bersesuaian dengan catatan sejarah VOC (dan sumber Barat pada umumnya) mengenai
perang ini (Seperti telah dikaji oleh Leonard Y. Andaya 1981; terjemahan
Indonesianya oleh Ininnawa 2004).
Namun demikian, historiografi tradisional, seperti Syair Perang Siak, Syair
Perang Wangkang, Babad Blambangan, Surat Keterangan Syekh Jalaluddin karangan
Fakih Saghir, dan Syair Perang Mengkasar—sekedar menyebut contoh—memiliki
logika dan struktur sendiri, yang berbeda dengan logika dan struktur catatan
sejarah karya orang Barat. Historiografi tradisional kita mengandung informasi
mengenai masa lampau kerajaan
Berbeda dengan sumber-sumber Barat yang sering hanya memberikan urutan
kronoligis peristiwa sejarah dan kadang cenderung statistis, sumber-sumber
pribumi seperti historiografi tradisional sering merepresentasikan hubungan
yang berkelindan antara pikiran dan perasaan (emosi) penulisnya. Sumber-sumber
pribumi seperti ini adalah bagian integral dari budaya lokal Nusantara.
Melaluinya kita tidak hanya dapat memahami berbagai ketegangan, konflik, dan
keprihatinan pada pemimpin lokal itu tetapi juga cara mereka memandang dunia
lokalnya dan orang asing.
(Sumber : Suryadi, Leiden Institute for Area Studies, Universiteit
Leiden, Belanda )
0 comments:
Post a Comment