Tuesday, September 9, 2014

MOREINDO (Sebuah pagi dan seorang lelaki mati) Karya Noviana Kusumawardhani

Lelaki itu selalu datang setiap pagi. Duduk di bangku taman kota dengan seikat bunga di tangannya. Entah , selalu seperti sebuah dialog antara lelaki itu dan hari bernama pagi. Dia duduk dengan diam dengan tiktok tiktok bunyi detak dari jantungnya sendiri.  Diam yang menyimpan berjuta pertanyaan untuk disimpan begitu saja dalam sisa-sisa embun hasil percintaan antara malam dan gelisah dari sebuah pekat. Setiap matahari menyeruak di antara daun-daun pepohonan dan seolah-olah seperti tangan para malaikat yang memeluk daun jatuh, lelaki itu selalu mengadahkan mukanya sambil memejamkan mata. Secarik senyuman selalu menghias wajahnya yang mulai bergambar usia dengan noktah-noktah waktu hampir di seluruh porinya.

“Aku adalah kematian, sepanjang malam aku begitu lelah  memilih siapa yang dengan rela memberikan nafasnya untuk kupintal bersama cahaya dan kubawa ke angkasa. Jadi sekarang aku ingin menikmati hangatnya pagi untuk membasuh semua lelahku” begitu selalu jawabnya setiap ada orang yang lewat di taman itu  dan bertanya  mengapa dia seperti sangat memuja matahari. Tentu saja tak ada satu orangpun yang percaya. Karenanya mereka tidak bertanya lebih lanjut lagi karena sangat hampir dipastikan lelaki itu adalah gila dan kegilaan selalu menakutkan.

Begitulah, satu hal yang selalu terjadi di taman kota itu. Orang-orang sudah mulai terbiasa dengan kehadiran lelaki itu. Bahkan ada yang dengan sengaja datang untuk mengobrol hal yang tak jelas dengannya atau sekedar berbagi gelak meski mata tuanya selalu sepi dan sarat dengan sunyi.  Tak ada satupun yang tahu bahwa setiap malam, mata yang tampak begitu lembut dan rapuh akan berubah menjadi merah. Erang kesakitan roh yang berpisah dari tubuh adalah musik yang setiap malam layak dia dengar. Merah adalah warna ketika gelap menjadi penguasa.  Kematian adalah orkestra bagi  detak kesunyian yang mendera. Seribu kunang-kunang berpora luar biasa ketika setiap roh melolong untuk berpisah dari tik tok waktu.

“Jika rambut putihku bertambah setiap hari, maka berkuranglah satu kehidupan. Karena roh manusia yang aku bawa akan menempel di ubanku” demikian katanya pada satu pagi kepada seorang pelacur  tua yang patah hati. Perempuan dengan cabikan-cabikan memar di hatinya itu mau tak mau tersenyum karena baginya lelaki itu benar-benar berusaha menghiburnya. Sambil menghapus airmata yg memporakporandakan jelaga penghitam matanya dikecupnya dahi lelaki itu “ Pak tua sayang,  mimpiku pecah,  aku  sudah mati bahkan sebelum Tuhan menciptakan kematian itu sendiri”.  Sambil berlalu ditinggalkannya beberapa lembar uang.

Pelacur yang malang,  setiap malam ditunggunnya pangeran berkuda putih menjemputnya bak dongeng Cinderella, tapi sampai usia menjelang 50 tak ada seorangpun yang datang, dan hari itu dia sadar bahwa kereta Cinderellanya telah hangus terbakar di tengah jalan. “Datanglah lagi besok, temani aku dan kita akan bercakap tentang sebuah mimpi   dari buah labu yang menjelma menjadi keretamu” teriak lelaki itu ketika perempuan sudah hampir menghilang di pojok jalan.

Ketika tubuh pelacur itu sudah benar-benar menghilang bersama siang, lelaki itu juga menghilang begitu saja. Benar, hilang bersama siang. Konon pernah ada yang melihat lelaki itu jika siang menjelma menjadi burung gagak yang akan hinggap di atap-atap rumah dimana malamnya atap itu akan berubah menjadi ruahan lolongan kesedihan roh yang berpisah bagi penghuninya. Tetapi tidak ada satupun yang pernah benar-benar membuktikan cerita itu.  Siang adalah perang bagi bayang-bayang. Mungkin karena itulah lelaki itu menghilang. Karena bayang-bayang tidak pernah berbohong kepada jiwa. Bayang-bayang adalah catatan perjalanan tik tok jarum dimana kita akan selalu mendengarnya di tempat paling sunyi sedunia sekalipun.

Pada suatu pagi yang rapuh, lelaki itu seperti biasa duduk lagi di bangku taman dengan seikat bunga di tangannya.  Bunga entah untuk siapa. Tetapi pagi itu ada yang tidak biasa. Pelacur tua pemimpi kereta Cinderella itu tampak duduk disampingnya. Mungkin karena tawaran untuk menemani ataupun memang kesepian yang mendera paginya maka perempuan itu datang begitu saja dari sebuah subuh yang penuh.  Mereka bercakap dalama diam yg pekat. Mata mereka saling menyentuh. Detak mereka saling meruap. Sesekali  helaan nafas yang sepi saling bersinggungan di antara berjuta-juta tanda tanpa jawab untuk sesuatu bernama hidup. Jelas sekali di antara mereka ada rasa yang mendesak , entah rasa apa tetapi yang jelas rasa itu membuat mereka begitu saja melekat dalam tik tok jarum yang mungkin berjalan terbalik.

“Bagaimana jika pada suatu malam , dalam diam yang selalu mengendap aku mendatangimu dan meminta satu persatu nafasmu?” . Lelaki itu mencoba membuka percakapan yang tiba-tiba seperti tidak dibutuhkan di antara mereka.  Percakapan yang benar-benar seperti basa-basi yang begitu memuakkan. Hati adalah kata dari jiwa dan itu tidak perlu ada basa-basi. Ruap-ruap gairah dengan lembut sebenarnya membayang di antara kejapan mata yang berserobok tanpa permisi dan keinginan-keinginan begitu mencuat tiba-tiba untuk kawan bagi sepi  yang begitu keji di antaranya.

“Jika yang kamu minta adalah kematianku, sebenarnya aku sudah tidak punya sejak lama. Sejak kekasihku pergi dalam gelap di suatu senja yang buta aku merasa kematian sudah masuk perlahan melalui pori dan lubang hidungku di setiap detik aku mengingatnya. Maafkan, aku tidak punya lagi kematian yang bisa kamu ambil. Tetapi kamu boleh mengambil rohku kapan saja, kalau perlu nanti malam sekalipun”   Tanpa banyak helaan dari hidungnya, lelaki  itu memberi pelacur itu bunga yang masih penuh dengan ruap kesedihan itu.

“Tunggu aku tengah malam nanti, aku akan datang dan kamu akan melepas semua kesedihanmu  dan rohmu”.  Pelacur itu mengangguk. Sebuah perjanjian kematian  tanpa disadari telah disepakati. Meskipun sebenanrya pelacur  itu menganggap lelaki itu kurang setengah ons kadar kewarasan otaknya, tetapi gambaran bahwa pada akhirnya roh yang menyakitkan dan tak mau lepas dari tubuhnya akan dibawa pergi benar-benar mampu membuatnya menarik urat bibirnya untuk tersenyum. Sudah lama dia mendambakan untuk mengusir roh di dalam tubuhnya karena roh itu sering sekali menumbuhkan rasa sakit yang luar biasa perih ketika mimpinya tentang sebuah rumah yang penuh warna bunga dan tawa tidak pernah hadir dalam hidupnya. Pelacur itu menganggap rohnya seperti rayap yang diam-diam selalu menggerogoti waktunya. Dia benar-benar ingin terlepas dari itu, karena rasa sakit yang luar biasa hebat selalu menghentak di setiap detik waktu yang begitu saja hilang begitu saja.

Seperti sebuah kencan anak remaja, perjanjian tengah malam itu benar-benar menggairahkan. Sesampai di rumah segera dikeluarkan gaun terbaiknya. Benar-benar sebuah kencan yang harus sempurna dan tidak boleh ada cacat sedikitpun.  Meski untuk sebuah kematian. Benar-benar serasa dongeng Cinderella itu hidup kembali, ada yang ditunggu berdentang jam 12 malam. Dentang yang tentu saja tidak akan meninggalkan sepatu kaca yang tertinggal sebelah. Pelacur tua itu benar-benar gembira luar biasa menantikan perpisahan dengan rohnya. Suatu hal yang benar-benar harus dirayakan.  Dalam gelap yang makin berjalan dalam malam, dia menunggu dengan debar luar biasa di sebuah sofa. Diambilnya secarik kertas dituliskanlah kata-kata perpisahan yang kali ini kesedihan tak lagi mampir , dengan  penuh cinta dia menulis untuk kekasihnya yang tentu saja entah dimana itu.

“ Kekasihku, kematian harus dirayakan. Tertawalah seperti ketika hari kelahiranku disambut dengan suka cita. Bunyikan musik penuh keriaan dan menarilah dalam dentam riang, karena rohku akan kembali pulang. Kesedihan dan airmata tak akan menjadi bukan apa-apa. Bakarlah aku nanti, tebarkan abuku ke angkasa. Jika kamu rindu pandangi saja bintang-bintang itu”  Demikianlah, tik tok jarum berlalu dengan begitu luar biasa lambat, karena detak yang  sesungguhnya ada di dada. Pelacur tua itu menunggu lelaki penjemput maut. Jarum jam melata luar biasa .

Teng tepat jam 12 malam. Lelaki itu belum muncul juga.  Perempuan dengan begitu banyak noktah waktu di wajahnya itu makin resah, satu persatu dari satu tik tok ke tik tok yang lain waktu tidak juga membawa lelaki tua itu datang. Roh yang menggeliat di dalam dirinya serasa begitu menyayat.  Kesedihan tiba-tiba begitu meruah dan berpora luar biasa dari satu jeda nafas ke jeda yang lain. Kesedihan yang melahirkan api. Dia melolong sejadi-jadinya. Kemarahan bagaikan serigala dengan seribu luka. Dia benar-benar merasa terpedaya. Dia marah ke angkasa, ke tanah  dan ke matahari. Dia tidak habis mengeti mengapa semuanya berbohong  bahkan pencabut rohpun membohonginya. Dia hanya benar-benar ingin berpisah dalam damai dengan roh yang selalu menyakitinya itu.  Di subuh yang begitu riuh dengan bunyi, pelacur tua itu kembali menangis dalam sunyi. Dia tidak habis mengerti bukan hanya pangeran berkuda putih tetapi  kematian juga tidak mau menjemputnya. Benar-benar roh yang sudah dikutuk sunyi.

Pagi datang seperti biasanya. Sisa-sisa bau tanah habis hujan member ruang ingatan pada rasa bahagia di satu masa. Tetapi ingatan harus dipangkas. Karena hanya orang-orang rapuh yang selalu terpaku pada ingatan. Sejak si pencabut roh tidak datang semalam, pagi itu pelacur tua itu bertekad akan memaksa lelaki itu memberinya mimpi sebagai ganti rugi akan harapannya. Matahari mulai berbisik di ujung timur tetapi lelaki itu belum muncul. Suatu hal yang tidak biasa. Setiap pagi seharusnya dia ada disini. Seperti biasa  dia akan membawa bunga dan mengadahkan ke langit dan menyambut matahari dengan suka cita para pecinta Tuhan yang menyapa  alam raya. Tetapi hari itu dia tidak datang. Mungkin besok dia akan datang dengan membawa kembali bunga dalam genggamannya yang masih berbau air mata. Agak kaget juga pelacur tua dengan harapan itu. Sudah lama dia tidak memilikinya. Aku akan menunggunya besok lagi.

Demikianlah, setiap pagi pelacur tua itu menunggu lelaki yang selalu datang dengan seikat bunga itu. Tik tok tik tok begitu selalu bunyi detak perempuan itu menunggu waktu. Meskipun pelacur tua itu tau bahwa waktu adalah detak jantungnya sendiri tetapi menunggu memang suatu gairah tersendiri. Karena di dalam ruang tunggu itu semua lakon dalam kepala dan hati saling berebut  tampil dalam wujud harapan. Tetapi laki-laki itu tidak datang juga.  Pelacur tua itu entah kenapa selalu menunggunya. “Aku ingin member kesetiaan  meski aku tahu bahkan tubuh kita tidak akan pernah setia terhadap kemudaan” . Lelaki itu tidak pernah datang lagi. Hingga pada musim ke 11 , ketika musim awal airmata langit mulai jatuh , segalanya berubah selamanya.

Pagi itu,  lelaki dengan seikat bunga di tangannya tiba-tiba sudah ada kembali di taman itu dalam keadaan mati. Tubuhnya membiru dan memancarkan cahaya menyilaukan. Kematian pencabut roh memang selalu membuat kecanduan karena warnanya indah luar biasa. Perempuan itu sesaat terpana ketika entah karena banyak tubuh melata di tubuhnya semalaman sehingga pagi itu dia datang agak terlambat. Sesaat hatinya berdenyut luar biasa perih. Tetapi warna biru dengan sinar yang begitu bercahaya itu sungguh menyihirnya.  

Hujan menderas begitu luar biasa dan cahaya itu benar-benar membuatnya begitu membatu dalam ketakjuban menggila. Tiba-tiba dengan kekuatan yang entah darimana diciumnya bibir lelaki itu dengan semua hangat luar biasa di rohnya.  Pertama kali sejak kekasihnya pergi, rohnya tidak lagi merasa sakit setiap ingatan akan rasa itu muncul. “ Mungkin sebenarnya aku memang tidak usah mencari kemana-mana cint itu , karena rohku adalah cinta itu sendiri” .  Haru  begitu  luar biasa menyeruak ketika dipeluknya dengan penuh si pencabut roh yang masih dengan erat menggegam bunga berbau airmata di tangannya. Ya pagi itu, seorang lelaki mati.

Ubud, 26 Januari 2011
Aku mencintai kematianku seperti aku mencintai kehidupanku

0 comments:

Post a Comment