Lelaki itu selalu datang setiap pagi. Duduk di bangku taman
kota dengan seikat bunga di tangannya. Entah , selalu seperti sebuah dialog
antara lelaki itu dan hari bernama pagi. Dia duduk dengan diam dengan tiktok
tiktok bunyi detak dari jantungnya sendiri. Diam yang menyimpan berjuta
pertanyaan untuk disimpan begitu saja dalam sisa-sisa embun hasil percintaan
antara malam dan gelisah dari sebuah pekat. Setiap matahari menyeruak di antara
daun-daun pepohonan dan seolah-olah seperti tangan para malaikat yang memeluk
daun jatuh, lelaki itu selalu mengadahkan mukanya sambil memejamkan mata.
Secarik senyuman selalu menghias wajahnya yang mulai bergambar usia dengan
noktah-noktah waktu hampir di seluruh porinya.
“Aku adalah kematian, sepanjang malam aku begitu lelah
memilih siapa yang dengan rela memberikan nafasnya untuk kupintal bersama
cahaya dan kubawa ke angkasa. Jadi sekarang aku ingin menikmati hangatnya pagi
untuk membasuh semua lelahku” begitu selalu jawabnya setiap ada orang yang
lewat di taman itu dan bertanya mengapa dia seperti sangat memuja
matahari. Tentu saja tak ada satu orangpun yang percaya. Karenanya mereka tidak
bertanya lebih lanjut lagi karena sangat hampir dipastikan lelaki itu adalah
gila dan kegilaan selalu menakutkan.
Begitulah, satu hal yang selalu terjadi di taman kota itu.
Orang-orang sudah mulai terbiasa dengan kehadiran lelaki itu. Bahkan ada yang
dengan sengaja datang untuk mengobrol hal yang tak jelas dengannya atau sekedar
berbagi gelak meski mata tuanya selalu sepi dan sarat dengan sunyi. Tak
ada satupun yang tahu bahwa setiap malam, mata yang tampak begitu lembut dan
rapuh akan berubah menjadi merah. Erang kesakitan roh yang berpisah dari tubuh
adalah musik yang setiap malam layak dia dengar. Merah adalah warna ketika gelap
menjadi penguasa. Kematian adalah orkestra bagi detak kesunyian
yang mendera. Seribu kunang-kunang berpora luar biasa ketika setiap roh
melolong untuk berpisah dari tik tok waktu.
“Jika rambut putihku bertambah setiap hari, maka
berkuranglah satu kehidupan. Karena roh manusia yang aku bawa akan menempel di
ubanku” demikian katanya pada satu pagi kepada seorang pelacur tua
yang patah hati. Perempuan dengan cabikan-cabikan memar di hatinya itu mau tak
mau tersenyum karena baginya lelaki itu benar-benar berusaha menghiburnya.
Sambil menghapus airmata yg memporakporandakan jelaga penghitam matanya
dikecupnya dahi lelaki itu “ Pak tua sayang, mimpiku pecah,
aku sudah mati bahkan sebelum Tuhan menciptakan kematian itu
sendiri”. Sambil berlalu ditinggalkannya beberapa lembar uang.
Pelacur yang malang, setiap malam ditunggunnya
pangeran berkuda putih menjemputnya bak dongeng Cinderella, tapi sampai usia
menjelang 50 tak ada seorangpun yang datang, dan hari itu dia sadar bahwa
kereta Cinderellanya telah hangus terbakar di tengah jalan. “Datanglah
lagi besok, temani aku dan kita akan bercakap tentang sebuah mimpi
dari buah labu yang menjelma menjadi keretamu” teriak lelaki itu ketika
perempuan sudah hampir menghilang di pojok jalan.
Ketika tubuh pelacur itu sudah benar-benar menghilang
bersama siang, lelaki itu juga menghilang begitu saja. Benar, hilang bersama
siang. Konon pernah ada yang melihat lelaki itu jika siang menjelma menjadi
burung gagak yang akan hinggap di atap-atap rumah dimana malamnya atap itu akan
berubah menjadi ruahan lolongan kesedihan roh yang berpisah bagi penghuninya.
Tetapi tidak ada satupun yang pernah benar-benar membuktikan cerita itu.
Siang adalah perang bagi bayang-bayang. Mungkin karena itulah lelaki itu
menghilang. Karena bayang-bayang tidak pernah berbohong kepada jiwa.
Bayang-bayang adalah catatan perjalanan tik tok jarum dimana kita akan selalu
mendengarnya di tempat paling sunyi sedunia sekalipun.
Pada suatu pagi yang rapuh, lelaki itu seperti biasa duduk
lagi di bangku taman dengan seikat bunga di tangannya. Bunga entah untuk
siapa. Tetapi pagi itu ada yang tidak biasa. Pelacur tua pemimpi kereta
Cinderella itu tampak duduk disampingnya. Mungkin karena tawaran untuk menemani
ataupun memang kesepian yang mendera paginya maka perempuan itu datang begitu
saja dari sebuah subuh yang penuh. Mereka bercakap dalama diam yg pekat.
Mata mereka saling menyentuh. Detak mereka saling meruap. Sesekali helaan
nafas yang sepi saling bersinggungan di antara berjuta-juta tanda tanpa jawab
untuk sesuatu bernama hidup. Jelas sekali di antara mereka ada rasa yang
mendesak , entah rasa apa tetapi yang jelas rasa itu membuat mereka begitu saja
melekat dalam tik tok jarum yang mungkin berjalan terbalik.
“Bagaimana jika pada suatu malam , dalam diam yang selalu
mengendap aku mendatangimu dan meminta satu persatu nafasmu?” . Lelaki itu
mencoba membuka percakapan yang tiba-tiba seperti tidak dibutuhkan di antara
mereka. Percakapan yang benar-benar seperti basa-basi yang begitu
memuakkan. Hati adalah kata dari jiwa dan itu tidak perlu ada basa-basi.
Ruap-ruap gairah dengan lembut sebenarnya membayang di antara kejapan mata yang
berserobok tanpa permisi dan keinginan-keinginan begitu mencuat tiba-tiba untuk
kawan bagi sepi yang begitu keji di antaranya.
“Jika yang kamu minta adalah kematianku, sebenarnya aku
sudah tidak punya sejak lama. Sejak kekasihku pergi dalam gelap di suatu senja
yang buta aku merasa kematian sudah masuk perlahan melalui pori dan lubang
hidungku di setiap detik aku mengingatnya. Maafkan, aku tidak punya lagi
kematian yang bisa kamu ambil. Tetapi kamu boleh mengambil rohku kapan saja,
kalau perlu nanti malam sekalipun” Tanpa banyak helaan dari
hidungnya, lelaki itu memberi pelacur itu bunga yang masih penuh dengan
ruap kesedihan itu.
“Tunggu aku tengah malam nanti, aku akan datang dan kamu
akan melepas semua kesedihanmu dan rohmu”. Pelacur itu mengangguk.
Sebuah perjanjian kematian tanpa disadari telah disepakati. Meskipun
sebenanrya pelacur itu menganggap lelaki itu kurang setengah ons kadar
kewarasan otaknya, tetapi gambaran bahwa pada akhirnya roh yang menyakitkan dan
tak mau lepas dari tubuhnya akan dibawa pergi benar-benar mampu membuatnya
menarik urat bibirnya untuk tersenyum. Sudah lama dia mendambakan untuk
mengusir roh di dalam tubuhnya karena roh itu sering sekali menumbuhkan rasa
sakit yang luar biasa perih ketika mimpinya tentang sebuah rumah yang penuh
warna bunga dan tawa tidak pernah hadir dalam hidupnya. Pelacur itu menganggap
rohnya seperti rayap yang diam-diam selalu menggerogoti waktunya. Dia
benar-benar ingin terlepas dari itu, karena rasa sakit yang luar biasa hebat
selalu menghentak di setiap detik waktu yang begitu saja hilang begitu saja.
Seperti sebuah kencan anak remaja, perjanjian tengah malam
itu benar-benar menggairahkan. Sesampai di rumah segera dikeluarkan gaun
terbaiknya. Benar-benar sebuah kencan yang harus sempurna dan tidak boleh ada
cacat sedikitpun. Meski untuk sebuah kematian. Benar-benar serasa dongeng
Cinderella itu hidup kembali, ada yang ditunggu berdentang jam 12 malam.
Dentang yang tentu saja tidak akan meninggalkan sepatu kaca yang tertinggal
sebelah. Pelacur tua itu benar-benar gembira luar biasa menantikan perpisahan
dengan rohnya. Suatu hal yang benar-benar harus dirayakan. Dalam gelap
yang makin berjalan dalam malam, dia menunggu dengan debar luar biasa di sebuah
sofa. Diambilnya secarik kertas dituliskanlah kata-kata perpisahan yang kali
ini kesedihan tak lagi mampir , dengan penuh cinta dia menulis untuk
kekasihnya yang tentu saja entah dimana itu.
“ Kekasihku, kematian harus dirayakan. Tertawalah seperti
ketika hari kelahiranku disambut dengan suka cita. Bunyikan musik penuh keriaan
dan menarilah dalam dentam riang, karena rohku akan kembali pulang. Kesedihan
dan airmata tak akan menjadi bukan apa-apa. Bakarlah aku nanti, tebarkan abuku
ke angkasa. Jika kamu rindu pandangi saja bintang-bintang itu”
Demikianlah, tik tok jarum berlalu dengan begitu luar biasa lambat, karena
detak yang sesungguhnya ada di dada. Pelacur tua itu menunggu lelaki
penjemput maut. Jarum jam melata luar biasa .
Teng tepat jam 12 malam. Lelaki itu belum muncul juga.
Perempuan dengan begitu banyak noktah waktu di wajahnya itu makin resah, satu
persatu dari satu tik tok ke tik tok yang lain waktu tidak juga membawa lelaki
tua itu datang. Roh yang menggeliat di dalam dirinya serasa begitu
menyayat. Kesedihan tiba-tiba begitu meruah dan berpora luar biasa dari
satu jeda nafas ke jeda yang lain. Kesedihan yang melahirkan api. Dia melolong
sejadi-jadinya. Kemarahan bagaikan serigala dengan seribu luka. Dia benar-benar
merasa terpedaya. Dia marah ke angkasa, ke tanah dan ke matahari. Dia
tidak habis mengeti mengapa semuanya berbohong bahkan pencabut rohpun
membohonginya. Dia hanya benar-benar ingin berpisah dalam damai dengan roh yang
selalu menyakitinya itu. Di subuh yang begitu riuh dengan bunyi, pelacur
tua itu kembali menangis dalam sunyi. Dia tidak habis mengerti bukan hanya
pangeran berkuda putih tetapi kematian juga tidak mau menjemputnya.
Benar-benar roh yang sudah dikutuk sunyi.
Pagi datang seperti biasanya. Sisa-sisa bau tanah habis
hujan member ruang ingatan pada rasa bahagia di satu masa. Tetapi ingatan harus
dipangkas. Karena hanya orang-orang rapuh yang selalu terpaku pada ingatan.
Sejak si pencabut roh tidak datang semalam, pagi itu pelacur tua itu bertekad
akan memaksa lelaki itu memberinya mimpi sebagai ganti rugi akan harapannya.
Matahari mulai berbisik di ujung timur tetapi lelaki itu belum muncul. Suatu
hal yang tidak biasa. Setiap pagi seharusnya dia ada disini. Seperti
biasa dia akan membawa bunga dan mengadahkan ke langit dan menyambut
matahari dengan suka cita para pecinta Tuhan yang menyapa alam raya.
Tetapi hari itu dia tidak datang. Mungkin besok dia akan datang dengan membawa
kembali bunga dalam genggamannya yang masih berbau air mata. Agak kaget juga
pelacur tua dengan harapan itu. Sudah lama dia tidak memilikinya. Aku akan
menunggunya besok lagi.
Demikianlah, setiap pagi pelacur tua itu menunggu lelaki
yang selalu datang dengan seikat bunga itu. Tik tok tik tok begitu selalu bunyi
detak perempuan itu menunggu waktu. Meskipun pelacur tua itu tau bahwa waktu
adalah detak jantungnya sendiri tetapi menunggu memang suatu gairah tersendiri.
Karena di dalam ruang tunggu itu semua lakon dalam kepala dan hati saling
berebut tampil dalam wujud harapan. Tetapi laki-laki itu tidak datang juga.
Pelacur tua itu entah kenapa selalu menunggunya. “Aku ingin member
kesetiaan meski aku tahu bahkan tubuh kita tidak akan pernah setia
terhadap kemudaan” . Lelaki itu tidak pernah datang lagi. Hingga pada
musim ke 11 , ketika musim awal airmata langit mulai jatuh , segalanya berubah
selamanya.
Pagi itu, lelaki dengan seikat bunga di tangannya
tiba-tiba sudah ada kembali di taman itu dalam keadaan mati. Tubuhnya membiru
dan memancarkan cahaya menyilaukan. Kematian pencabut roh memang selalu membuat
kecanduan karena warnanya indah luar biasa. Perempuan itu sesaat terpana ketika
entah karena banyak tubuh melata di tubuhnya semalaman sehingga pagi itu dia
datang agak terlambat. Sesaat hatinya berdenyut luar biasa perih. Tetapi warna
biru dengan sinar yang begitu bercahaya itu sungguh menyihirnya.
Hujan
menderas begitu luar biasa dan cahaya itu benar-benar membuatnya begitu membatu
dalam ketakjuban menggila. Tiba-tiba dengan kekuatan yang entah darimana
diciumnya bibir lelaki itu dengan semua hangat luar biasa di rohnya.
Pertama kali sejak kekasihnya pergi, rohnya tidak lagi merasa sakit setiap
ingatan akan rasa itu muncul. “ Mungkin sebenarnya aku memang tidak usah
mencari kemana-mana cint itu , karena rohku adalah cinta itu sendiri” .
Haru begitu luar biasa menyeruak ketika dipeluknya dengan penuh si
pencabut roh yang masih dengan erat menggegam bunga berbau airmata di
tangannya. Ya pagi itu, seorang lelaki mati.
Ubud, 26 Januari 2011
Aku mencintai kematianku seperti aku mencintai kehidupanku
0 comments:
Post a Comment