Sebulan lalu, ramai dikejutkan akan pemberitaan LGBT
(Lesbian, gay, Biseksual, dan Transgender) yang melayangkan enam tuntutan yang
intinya adalah melegalitas dan memberikan ruang bagi mereka berekspresi.
Pemberitaan ini sempat menjadi pokok bahasan di pelbagai media massa, media
social dan diskusi. Tolakan keras bermunculan dari pemimpin-pemimpin agama dan
banyak pula yang melakukan dukungan berlandaskan HAM (Hak Asasi Manusia) dan
alasan lainya. Dan hal ini baru muncul setelah puluhan tahun di Indonesia khusunya
di Kabupaten Bulukumba, kelompok ini telah berada disekitar kita atau bahkan
kita telah menggunakan jasa mereka seperti pangkas rambut, perias pernikahan,
dan salon kecantikan yang tersebar hampir disetiap pelosok.
Jauh sebelum adanya istilah LGBT, telah tertulis dalam Al
Quran yang menggambarkan kita akan perilaku menyimpan umat Nabi Luth a.s yakni
kaum sedum. Di Sulawesi selatan yang mayoritas suka Bugis Makassar, dan di
Bulukumba yang terdiri dua suku Bugis dan Konjo melihat fenomena ini adalah hal
yang lumrah dan sudah diterima dalam kehidupan mereka. Orang Bugis sendiri
mengenal lima jenis kelamin berdasarkan social mereka.
Pertama, Burane (Saugeng) dimana burane ini merupakan lelaki sejati yang bertingkah laku layaknya laki-laki, misalnya ketika pagi hari pergi ke sawah menggarap sawah dan melakukan aktifitas yang yang biasa.
Kedua, Makkunrai (Awiseng) dimana Makkunrai ini merupakan perempuan sejati yang bertingkah laku layaknya perempuan pada umumnya, misalnya memasak di dapur.
Pertama, Burane (Saugeng) dimana burane ini merupakan lelaki sejati yang bertingkah laku layaknya laki-laki, misalnya ketika pagi hari pergi ke sawah menggarap sawah dan melakukan aktifitas yang yang biasa.
Kedua, Makkunrai (Awiseng) dimana Makkunrai ini merupakan perempuan sejati yang bertingkah laku layaknya perempuan pada umumnya, misalnya memasak di dapur.
Ketiga, Calalai (Balaki) atau sering disebut perempuan palsu, dimana Ia biasanya melakukan aktifitas yang dikerjakan oleh laki-laki, seperti memanjat kelapa, menunggang kuda.
Keempat, Calabai (Bencong) atau sering disebut lelaki palsu, dimana biasanya melakukan aktifitas yang dikerjakan oleh perempuan.
Dan yang Kelima adalah Bissu, bissu ini buka lelaki dan bukan perempuan, Mereka dulunya mendapat tempat yang khusus di dalam pemerintahan suatu kerajaan seperti merawat pusaka kerajaan (Arajang), Sangro. Sampai saat ini mereka masih ada di Sigeri dan biasa memimpin acara Mappalili.
Sampai saat ini, Organisasi LGBT yang ada di Indonesia telah
melakukan upaya-upaya untuk mendapatan pengakuan dan melegalkan aktifitas
mereka. Sampai saat ini, sudah terdapat 25 negera yang telah melegalkan dan
mengesahkan pernikahan sejenis, diantaranya Belanda, Belgia, Spanyol, dan akhir
tahun 2015 Amerika serikat.
Di Indonesia sendiri, LGBT ini terus saja meningkat, ini
dikarenakan kurangnya pengawasan orang tua sebagai tameng utama perilaku
anaknya, bebas dan kurangnya perhatian dari masyarakat akan perbuatan (sex
menyimpang) yang mereka lakukan, dan semakin banyaknya tayangan atau public
figure di televisi yang bertingkah laku tidak sesuai. Hal ini tentu saja
menjadi masalah di Negara kita terkhusus di Kabupaten Bulukumba yang memiliki
nilai luhur dan beragama, Akankah kita akan menjadi lebih rendah dari pada
binatang yang jelas-jelas binatang sendri tidak melakukan perkawinan
sejenis atau jati diri kita sebagai orang timur luntur seiring
bergantinya tahun ?.
Wallau A’lam
Topada Salamaki
Zulengka Tangallilia / Sudut Bumi, 22 Februari, 2015
0 comments:
Post a Comment