Saturday, September 6, 2014

Cerita yang terbebas


Wanita itu masih mendekap erat kedua lututnya, entah sudah berapa tahun  dia seperti manusia yang kehilangan serpihan-serpihan kebahagiaan yang selama ini dia jaga , sedang cuaca kali ini masih seperti kemarin, pagi yang mendung,sore yang murung dan malam yang mati, anginpun membawa aroma dingin yang mungkin dia pungut dibukit berkabut saat senja mulai meranum.

lelaki itu kembali datang dan duduk disampingnya

“Kekasih kemanakah wajah bahagiamu  yang selalu memukul-mukul waktu, apakah kau telah menjadiknya persembahan kepada roh kesedihan.?”

wanita itu hanya diam, seakan mulutnya telah mengunci dirinya sendiri.

“ataukah kau telah merobeknya menjadi beberaba bagian agar dapat di bagikan kepada siapa saja yang datang kepadamu, dalam keadaan luka.?”

wanita itu masih terdiam tak menghiraukan, seakan suara dan pertanyaan lelaki yang sedari duduk disampingnya hayalah angin yang sedang berjalan di kedua sisinya.

“katakan padaku sebab aku tak dapat menyimpulkannya hanya dengan melihat mukamu yang beberapa tahun ini kosong dan tak berjiwa.”

tangisanya perempuan itu mulai pecah satu persatu, air mata yang bening,hening. Entah mengapa air matanyapun tak mampu memberikan satu dua isyarat, tentang dirinya, tentang perasaan apa yang sedang mengurungnya. gerimispun mulai turun perlahan membasuh rambutnya yang tergerai, wanita itu masih tak berkutik, diam,walau lama-kelamaan hujan telah membasuh seluruh tubuhnya.

“katakanlah,tanpa menghentikan air mata yang berjalan anggun dipipimu, sebab aku yakin air matamu itu akan terbawa dan menyatu dengan air hujan menuju tempat bermukim bagi air mata dari mata seorang kekasih”

Wanita itu masih tak berkata apa-apa, hanya suara tangisannya yang semakin menderas,hingga hujan yang mulai menderaspun tak mampu meredam suaranya.

“kau harus tahu tak akan ada seorangpun yang akan mengerti dan mengetahui betapa hitamnya derita yang telah menyelubungi seluruh tubuh dan jiwamu, jika kau tak menceritakanya, jikapun kisahmu adalah kisah yang hitam pekat, kau harus meceritakanya sebelum kau menyatu dengan para leluhur yang selalu menghentikan langkahku ketika aku ingin menemui kekasihku yang lain, hanya untuk mendengar cerita mereka”

dengan suara terbata-bata wanita itu akhirnya bicara“a… a… a… aku”

“kekasih, katakanlah selagi udara itu masih keluar masuk dalam tubuhmu, cinta seperti apakah yang membuatmu seperti ini.? Ataukah kau telah menjadi pemulung sepi para pelacur jika malam telah meranum, agar tak ada seorangpun yang memungut sepi pelacur itu untuk dijadikan kayu bakar diakala musim dingin datang .?”

Dengan suara yang sendu, perempuan itu berkata“walaupun aku menceritan kisahku kepadamu sesungguhnya kamu tak akan mengerti derita cinta apa yang sedang mendekapaku, banyak sudah manusia yang mendenggar ceritaku, aku pernah menceritakanya kepada seorang politisi yang sangat terkenal, poltisi itu hanya memberikanku janji dan sampai sekarang dia tak pernah datang untuk memenuhi janjinya, aku juga pernah menceritakanya kepada pemuka agama di kotaku, dia hanya menyuruhku tak bersedih dan tak menangis, bukankah itu adalah sesuatu yang konyol, akujuga pernah menceritakanya kesalah satu dokter di kotaku, lalu dia hanya memberiku obat tidur yang sampai sekarang masih tersimpan di laci mejaku, jadi buat apakah aku menceritakanya kepadamu, kau hanya seorang lelaki yang entah dari mana, lihatlah dirimu, mana mungkin kau mampu mengerti dan meyembuhkan luka yang sekarang mendekap tubuhku yang semakin hari semakin erat”

Perempuan itu berdiri, dan melangkah pulang sambil memegang air mata di tangan kanannya, dalam hujan yang menderas.
hingga pada suatu senja yang perlahan menjingga yang mulai memenuhi rongga langit, awan putihpun ikut menyatu dengan warna senja, perempuan itu kembali duduk di tempat yang selama ini menemaninya , lelaki itupun kembali duduk di sampingnya, memulai sebuah pembicaraan seperti biasa

“kekasih, apakah kau tahu, aku pernah menemukan sepotong kisah dari senja yang terpotong, dan dipungut oleh seorang wanita yang penuh dengan harapan maupun tenunan kasih sayang, hingga senja yang terpotong  yang telah di pungutnya membuat seluruh harapan dan tenunan kasih sayangnya mulai menghilang satu persatu dan tak ada seorangpun yang mampu merasakan penderitaanya sebab dia tak menceritakanya kepada satu orangpun, hingga suatu hari sepasang burung merpati datang padaku dan menceritakan kisah wanita itu, kekasih kau harus tahu senja adalah peristiwa yang menyedihkan sebab senja menandakan bahwa sunyi telah bersiap untuk memelukmu, sepi yang merintih akan segera mendekap tubuh mungilmu, hingga kau tenggelam dalam lautan kesedirian yang sangat menyengat”

Entah kenapa wanita itu tak seperti biasanya, tak ada diam yang dia keluarkan, tak ada diam yang dia tunjukan.

“siapakah kau sebenarya.?” tanyanya

“aku adalah lelaki yang tercipta dari rahim sunyi, dibesarkan dari tangan sepi, setiap makanan yang ku cerna di buat dari air mata kesedihan dan raungan penderitaan”

“baiklah aku akan menceritakan derita apa yang sebenarnya sedang mendekapku, aku sudah muak dengan dirimu yang selalu datang dengan pertanyaan-pertayaan”

lelaki itu duduk dengan wajah kebahagiaan mendengar cerita wanita itu, tentang ibu yang membuangnya, tentang ayahnya yang telah pergi, tentag saudara-saudaranya yang mengusirnya, tentang temannya yang tak menginginkanya, tentang derita, tentang kesedihan, dan tentang airmata yang tak memiliki ujung.Setelah menceritakan semuanya, dan mendapatkan sebuah jawaban dari lelaki itu,  wanita itu kemudian berdiri dan berjalan pulang, dengan sedikit goresan senyuman. waktu terus berganti, wanita itu tak pernah datang lagi, duduk, diam dan menangis ditempat yang biasa menemaninya, hingga pada suatu senja sepasang burung merpati datang membawa kabar, bahwa wanita itu telah mati dengan sennyuman yang menyepi di sudut kamarnya.setelah kematian wanita itu tak ada lagi pagi yang mendung,sore yang murung dan malam yang mati, anginpun tak lagi membawa aroma dingin yang mungkin dia pungut dibukit berkabut saat senja mulai meranum.

Karya : Muh. Akbar KK
Sekolah Sastra Bulukumba



0 comments:

Post a Comment