Wanita itu masih mendekap erat kedua lututnya, entah sudah
berapa tahun dia seperti manusia yang kehilangan serpihan-serpihan
kebahagiaan yang selama ini dia jaga , sedang cuaca kali ini masih seperti
kemarin, pagi yang mendung,sore yang murung dan malam yang mati, anginpun
membawa aroma dingin yang mungkin dia pungut dibukit berkabut saat senja mulai
meranum.
lelaki itu kembali datang dan duduk disampingnya
“Kekasih kemanakah wajah bahagiamu yang selalu
memukul-mukul waktu, apakah kau telah menjadiknya persembahan kepada roh
kesedihan.?”
wanita itu hanya diam, seakan mulutnya telah mengunci
dirinya sendiri.
“ataukah kau telah merobeknya menjadi beberaba bagian agar
dapat di bagikan kepada siapa saja yang datang kepadamu, dalam keadaan luka.?”
wanita itu masih terdiam tak menghiraukan, seakan suara dan
pertanyaan lelaki yang sedari duduk disampingnya hayalah angin yang sedang
berjalan di kedua sisinya.
“katakan padaku sebab aku tak dapat menyimpulkannya hanya
dengan melihat mukamu yang beberapa tahun ini kosong dan tak berjiwa.”
tangisanya perempuan itu mulai pecah satu persatu, air mata
yang bening,hening. Entah mengapa air matanyapun tak mampu memberikan satu dua
isyarat, tentang dirinya, tentang perasaan apa yang sedang mengurungnya. gerimispun
mulai turun perlahan membasuh rambutnya yang tergerai, wanita itu masih tak
berkutik, diam,walau lama-kelamaan hujan telah membasuh seluruh tubuhnya.
“katakanlah,tanpa menghentikan air mata yang berjalan anggun
dipipimu, sebab aku yakin air matamu itu akan terbawa dan menyatu dengan air
hujan menuju tempat bermukim bagi air mata dari mata seorang kekasih”
Wanita itu masih tak berkata apa-apa, hanya suara
tangisannya yang semakin menderas,hingga hujan yang mulai menderaspun tak mampu
meredam suaranya.
“kau harus tahu tak akan ada seorangpun yang akan mengerti
dan mengetahui betapa hitamnya derita yang telah menyelubungi seluruh tubuh dan
jiwamu, jika kau tak menceritakanya, jikapun kisahmu adalah kisah yang hitam
pekat, kau harus meceritakanya sebelum kau menyatu dengan para leluhur yang
selalu menghentikan langkahku ketika aku ingin menemui kekasihku yang lain,
hanya untuk mendengar cerita mereka”
dengan suara terbata-bata wanita itu akhirnya bicara“a… a…
a… aku”
“kekasih, katakanlah selagi udara itu masih keluar masuk
dalam tubuhmu, cinta seperti apakah yang membuatmu seperti ini.? Ataukah kau
telah menjadi pemulung sepi para pelacur jika malam telah meranum, agar tak ada
seorangpun yang memungut sepi pelacur itu untuk dijadikan kayu bakar diakala
musim dingin datang .?”
Dengan suara yang sendu, perempuan itu berkata“walaupun aku
menceritan kisahku kepadamu sesungguhnya kamu tak akan mengerti derita cinta
apa yang sedang mendekapaku, banyak sudah manusia yang mendenggar ceritaku, aku
pernah menceritakanya kepada seorang politisi yang sangat terkenal, poltisi itu
hanya memberikanku janji dan sampai sekarang dia tak pernah datang untuk
memenuhi janjinya, aku juga pernah menceritakanya kepada pemuka agama di
kotaku, dia hanya menyuruhku tak bersedih dan tak menangis, bukankah itu adalah
sesuatu yang konyol, akujuga pernah menceritakanya kesalah satu dokter di
kotaku, lalu dia hanya memberiku obat tidur yang sampai sekarang masih
tersimpan di laci mejaku, jadi buat apakah aku menceritakanya kepadamu, kau
hanya seorang lelaki yang entah dari mana, lihatlah dirimu, mana mungkin kau
mampu mengerti dan meyembuhkan luka yang sekarang mendekap tubuhku yang semakin
hari semakin erat”
Perempuan itu berdiri, dan melangkah pulang sambil memegang
air mata di tangan kanannya, dalam hujan yang menderas.
hingga pada suatu senja yang perlahan menjingga yang mulai
memenuhi rongga langit, awan putihpun ikut menyatu dengan warna senja,
perempuan itu kembali duduk di tempat yang selama ini menemaninya , lelaki
itupun kembali duduk di sampingnya, memulai sebuah pembicaraan seperti biasa
“kekasih, apakah kau tahu, aku pernah menemukan sepotong
kisah dari senja yang terpotong, dan dipungut oleh seorang wanita yang penuh
dengan harapan maupun tenunan kasih sayang, hingga senja yang terpotong
yang telah di pungutnya membuat seluruh harapan dan tenunan kasih sayangnya
mulai menghilang satu persatu dan tak ada seorangpun yang mampu merasakan
penderitaanya sebab dia tak menceritakanya kepada satu orangpun, hingga suatu
hari sepasang burung merpati datang padaku dan menceritakan kisah wanita itu,
kekasih kau harus tahu senja adalah peristiwa yang menyedihkan sebab senja
menandakan bahwa sunyi telah bersiap untuk memelukmu, sepi yang merintih akan
segera mendekap tubuh mungilmu, hingga kau tenggelam dalam lautan kesedirian
yang sangat menyengat”
Entah kenapa wanita itu tak seperti biasanya, tak ada diam
yang dia keluarkan, tak ada diam yang dia tunjukan.
“siapakah kau sebenarya.?” tanyanya
“aku adalah lelaki yang tercipta dari rahim sunyi,
dibesarkan dari tangan sepi, setiap makanan yang ku cerna di buat dari air mata
kesedihan dan raungan penderitaan”
“baiklah aku akan menceritakan derita apa yang sebenarnya
sedang mendekapku, aku sudah muak dengan dirimu yang selalu datang dengan
pertanyaan-pertayaan”
lelaki itu duduk dengan wajah kebahagiaan mendengar cerita
wanita itu, tentang ibu yang membuangnya, tentang ayahnya yang telah pergi,
tentag saudara-saudaranya yang mengusirnya, tentang temannya yang tak
menginginkanya, tentang derita, tentang kesedihan, dan tentang airmata yang tak
memiliki ujung.Setelah menceritakan semuanya, dan mendapatkan sebuah jawaban
dari lelaki itu, wanita itu kemudian berdiri dan berjalan pulang, dengan
sedikit goresan senyuman. waktu terus berganti, wanita itu tak pernah datang
lagi, duduk, diam dan menangis ditempat yang biasa menemaninya, hingga pada
suatu senja sepasang burung merpati datang membawa kabar, bahwa wanita itu
telah mati dengan sennyuman yang menyepi di sudut kamarnya.setelah kematian
wanita itu tak ada lagi pagi yang mendung,sore yang murung dan malam yang mati,
anginpun tak lagi membawa aroma dingin yang mungkin dia pungut dibukit berkabut
saat senja mulai meranum.
Karya : Muh. Akbar KK
Sekolah Sastra Bulukumba
0 comments:
Post a Comment