Dalam catatan hariannya yang bertarikh 3 Dzulqaidah 1354
Hijriah , La Wahide DaEng Mamiru Pabbicara Tana Tengngana Belawa menuliskan :
“Tellu ompona uleng Suleka’ida//Rilalengna taung 1354
hijerrana Nabitta // uwalai papparingerrang lao risEsE alebbirengna DatuE ri
Belawa // MakkedaE ; Aja’ naita batii’ LimaE passabareng naengkai Datu
MakkarungngE // Iyanaritu : Natonangi atempongeng nasaba’ tudangengna //
NawElai ade’maraja naggau’ sama’ mariawataba’ // Mappuada wEkkadua tennanrupai
ada rimulangna // MarEngkalinga ada tennatongengi pangaderengna // Malimangna,
napakariawai To PanritaE // NarEkko siengkangni iyalima pangkaukengngE //
Natunaini alebbirengna // NariwElai ri Joana // Namallajang cEro’
riyabusunginna”
(Pada tanggal 3 bulan Dzulqaidah // dalam tahun 1354
Hijrahnya Nabi kita // kujadikan peringatan terhadap sisi kemuliaan Sang Datu
di Belawa // Bahwa ; Janganlah sampai terjadi hingga dilihat oleh keturunan
kita tentang lima hal pada Raja yang menjalankan pemerintahan // Yaitu :
Ditunggangi kesombongan atau kepongahan disebabkan tahtanya // Menjauh dari
adat istiadat Istana lalu berlaku rendah dimuka umum yang tak sepantasnya bagi
kemuliaan martabat mahkota yang diembannya // Tidak konsisten terhadap perkataan
yang pernah diucapkannya sebelumnya // Mendengar atau menuruti suatu perkataan
yang tidak dibenarkan oleh Adat Istiadatnya // Yang kelima adalah merendahkan
para ulama // Jikalau kelima prilaku itu berkumpul dalam dirinya (Raja) // Maka
ia menghinakan sendiri derajat kemuliaannya // Sehingga ia ditinggalkan para
pengikut setianya // Raiblah darah (aura) yang didurhakai atas dirinya).
Bahwa peringatan tersebut diucapkan oleh Pabbicara Belawa
dihadapan Datu Belawa sebelum meletakkan jabatannya dengan sehormat-hormatnya.
Meskipun kemudian membuatnya harus menjalani hidup dengan serba pas-pasan
akibat segala hartanya haruslah disita oleh Sang Datu beserta kroni-kroninya.
Namun kondisi itu diterimanya, demi azas Pangadereng yang mengalir dalam darah
dan nafasnya. “Percuma menjalani sesuatu jika tidak sesuai dengan makna yang
sesungguhnya”, katanya tegas sebagaimana dilafaldzkan dengan bahasa Bugis yang
penuh iba diri, yaitu : “rEkko maddua lalengni adanna nawa-nawaE, pusa
ricapparengna”. Tiada lain yang membuatnya mundur, tatkala didapatinya Sang
Datu hanya mendengarkan sepihak dari selir beserta keluarganya kala itu. Ibu
selir beserta rumpun keluarganya yang menjalankan pemerintahan, Sang Datu tak
lebih daripada boneka semata. Bahkan para pangeran yang tergolong “Ana’
Mattola”, yakni putera puteri mendiang Permaisuri (Arung Makkunrai) bahkan
disuruh menggembala domba.
Bahwa sesungguhnya adat (baca ; pangadereng) adalah suatu
nilai yang dinamis dan elastic. Meskipun ada beberapa aturan didalamnya yang
mutlak harus diberlakukan, sebagaimana diistilahkan : “Ade’ Puraonro” (Adat
Permanen). Adat Permanen itu pada umumnya lebih merupakan norma-norma yang
pemberlakuannya dapat pula disesuaikan serta berlaku umum (prosedur tetap).
Beberapa hal yang dinilai Ade’ Puraonro, antara lain : Seseorang yang hendak
membeli suatu benda yang tidak diperjual belikan di pasar, SEMESTINYA
mendatangi pemilik barang ke rumahnya, bukannya di tengah jalan atau Pos Ronda.
Semisalkan seseorang menghendaki sebilah pusaka, maka ia mendatangi pemilik
pusaka itu dengan cara bertamu sesopan-sopannya. Si pembeli harus mengindahkan
istilah yang menghormat dengan menyatakan hendak “me-mahar-kan” (massompa)
Pusaka yang dimaksud. Jika ia mengatakan itu “jual beli”, mestilah itu dinilai
kurang sopan. Terlebih pula jika menyangkut suatu urusan yang lebih agung,
yakni : Pernikahan. Pihak lelaki yang hendak “mammanu’-manu’” (lamaran tak
resmi), seyogyanya menemui orang tua pihak perempuan di rumah kediamannya (bola
atudangengna) dengan pakaian yang sepantasnya. Ini adalah suatu norma yang
berlaku bagi semuanya.
Menyangkut perihal adat istiadat pemuliaan terhadap Raja,
dalam khazanah Pangadereng Ugi (Adat Istiada Bugis), disebut sebagai bagian
dari : Ade’ Maraja (Adat Agung). Bagaimana memperlakukan seorang Raja, semua
diatur secara ketat dalam norma-norma itu. Bahwa menurut situasi/kondisi
kekinian, seyogyanya disesuaikan menurut keadaannya. Misalnya, ; Seorang Raja
yang melakukan perjalanan diluar Istananya, meskipun beliau selalu didudukkan
diatas “tappErE Boddong” (tikar persegi), namun kadang-kadang haruslah duduk
diatas kursi. Kemudian semua abdinya tidak boleh duduk sejajar dengan Raja,
maka “arah” kursi yang diduduki oleh para abdinya dalam majelis itu yang
berbeda arah dengan Sang Raja. Maka sesungguhnya adat istiadat itu senantiasa
dinamis dan tidak kaku.
Pada akhirnya, suatu pertanyaan yang kerap dikemukakan pada
masa kini : “Bagaimanakah hubungan Adat, Dewan Adat dan Raja ?”. Bahwa karena
memenuhi aturan ADAT sehingga seorang person disebut sebagai RAJA (DATU).
Pemuliaan terhadap Raja bukanlah diatur oleh Fiqi ataupun Syariat Islam, serta
bukan pula oleh UUD 1945. Melainkan oleh pranata ADAT bersendikan Syariat Islam
(Sara’) yang dijaga dan dijalankan oleh para Dewan Adatnya. Olehnya itu, jika seorang
Raja meremehkan Adat dan Dewan Adatnya, sama saja jika MAHKOTA menolak KEPALA
yang menjunjungnya. Seorang person disebut RAJA (DATU) disebabkan keluhuran
ADAT (pangadereng) yang diembannya, dimana dirinya adalah SIMBOL. Maka seorang
RAJA yang selalu berjalan sendiri dengan mengabaikan ADAT dan DEWAN ADATNYA,
sama halnya dengan MAHKOTA yang menjauhi KEPALA-nya.
“Polo paa’, polo panni’, riElo ullEna DatuE, rilulu’
manengmua, …” (meskipun patah paha, patah sayap, jika kehendak dan kemauannya
Datu, diteroboslah jua, …). Namun ikrar abdi itu masih ada “,” (koma) yang
mengantarai lanjutannya, yakni : “…, rEkko natunruengngE Ade’” (jikalau itu
dilandasi kebenaran Adat). Kemudian, “Angingko sio Lapuang, Nakiraungkaju, Riao
miri, riakkeng teppa, muteppalireng, …” (Engkaulah angin Tuanku, Kami tak lain
dedaunan belaka, dimana engkau berhembus, disitulah patik terhampar, terhembus
olehmu, …). Namun itupun adalah baru “koma” belaka, lanjutannya adalah
lagi-lagi ; rEkko natunruengngE Ade’” (jikalau itu dilandasi kebenaran Adat).
Selanjutnya, “Bulu’-bulu’ mutettongi, bulu’-bulu kilEwo, Lompo’-lompo
mutudangi, lompo’-lompo’ kilEwo, ….. rinatunruengngE Ade’” (Engkau berdiri di
gunung, gunung pula yang kami kerumuni, engkau duduk di dataran tinggi, dataran
tinggi itu pula yang kami kerumuni, …sekiranya itu dibenarkan oleh adat).
Hingga kemudian, “Angollino kisawe’, Assuroko kipEgau’i, …rinatunruengngE Ade’”
(memanggillah maka kami menjawab, menyuruhlah maka kami laksanakan, ..jikalau
itu berkesesuaian dengan Adat).
Maka sesungguhnya, Adat beserta Dewan Adat pada suatu negeri
adalah Legitimasi seorang person yang disebut sebagai Raja. Adat yang dijaga
dan dilaksanakan oleh Dewan Adat menggariskan penghormatan dan pemuliaan atas
diri seorang Raja. Namun jika Raja tidak mengindahkan atau bahkan mengabaikan
Dewan Adatnya, maka sama saja jika menginjak martabatnya sendiri. Demikian pula
dengan Dewan Adat, kewajibannya untuk mengingatkan seorang Raja yang sudah
terlalu jauh dari jangkauan benteng Adatnya. Seorang Dewan Adat wajib pula
menghormati dan menjunjung Raja-nya, namun itu berlaku selama Raja menghargai
Adatnya sendiri. Sekiranya nilai Adat sudah bukan lagi suatu hal yang penting,
..maka nilai seorang Raja dan Dewan Adat tak lebih dari bulir padi tak berisi,
..atau hampa belaka. Ibarat "pajo-pajo" (orang-orangan sawah) yang
meskipun mengenakan busana adat, namun tak siapapun yang sepakat jika itu boleh
disebut sebagai "orang beneran". Maka segalanya lebih baik
dikembalikan kepada Allah, Sang Pemilik Kemuliaan itu sendiri.
Wallahualam Bissawab.
Sumber :